Dua pekan yang mengesankan di Taman Nasional Baluran
Desember yang kami kira penuh hujan sehari-hari ternyata tidak melulu benar, karena kami sebagai manusia hanya bisa memperkirakan, namun Sang Maha Pencipta adalah sebaik-baik penentu keadaan dan Sang Maha Berkehendak. Sore itu kami berlima menaiki mobil dinas milik Taman Nasional Baluran yang terletak di Banyuputih, Situbondo, JawaTimur dengan berbagai tipe vegetasi seperti hutan mangrove, hutan pantai, hutan hijau sepanang tahun, hutan rawa, hutan pegunungan baah dan yang paling luas adalah sabana dengan jumlah prosentasenya adalah 40% dari total luas lahan Taman Nasional Baluran. Kami berada di bak mobil yang dikendarai oleh Mas Agus, kami adalah mahasiswa dan mahasiswi Diploma III Kesehatan Hewan Fakultas Sekolah Vokasi Universitas Gadjah Mada yang tergabung dalam kelompok studi hewan Keluarga Veteriner Satwa Liar(KVSL) yang hendak melakukan magang di Baluran dengan kurun waktu dua minggu, dimulai dari tanggal 23 Desember 2016 hingga 5 Januari 2020. Baiklah, sebelum beranjak ke aktivitas yang kami lakukan selama dua minggu di “Africa Van Java”, ada baiknya kami memperkenalkan diri terlebih dahulu, kami berlima adalah gabungan antara tiga laki-laki dan dua perempuan, tiga laki-laki itu adalah Ayyas Al-Faruq, Hanif Nur Hassan Al Faruqi dan Muhammad Taufan, sementara dua perempuan itu adalah Annisa Anriyani dan Talitha Almira.
Sebagai mahasiswa yang bergerak dan
mempelajari ilmu pengetahuan di bidang kesehatan khususnya hewan kami menyadari
bahwa belajar yang baik adalah membawa bekal dari rumah yang kami istilahkan
sebagai kampus untuk kemudian kami bawa menuju hutan, hutan yang dimaksud
adalah padang sabana resort Bekol Taman Nasional Baluran. Kenapa padang sabana?
Karena ikon utama dari Taman Nasional adalah satwa endemik berupa Banteng yang
bernama ilmiah Bos javanicus javanicus.
Mengapa padang sabana Bekol? Karena seusai kami tiba di resort Batangan atau
kantor utama dari Taman Nasional Baluran kami menyampaikan maksud dan tujuan
kepada pihak Balai Taman Nasional, setelah memaparkan maksud dan tujuan kami
pun mendapat rekomendasi dari pihak balai dan Kepala Balai untuk mengikuti
agenda yang sudah rutin dilakukan oleh para keeper
yang bertugas di wilayah resort sabana Bekol. Perjalanan dari Resort Batangan
menuju resort Bekol kami nikmati dengan memandangi vegetasi di kanan dan kiri
jalan. Ada sesuatu yang unik ketika melewati hutan evergreen, yakni hutan hijau sepanjang tahun, dari cerita Mas Agus,
jikalau beruntung sehabis hujan disini kita bisa melihat Macan tutul (Panthera pardus melas) melintas
menyeberangi jalanan yang cukup bergelombang karena tidak rata dan banyak
lubang, keadaan jalan yang menghubungkan Resort Batangan dengan resort Bekol
hingga ke resort Bama kini sudah berbeda dengan waktu ketika kami berkunjung ke
sana. Setibanya di resort Bekol kami langsung menuju ruangan aula kantor, yang
mana kami akan berisitirahat disana selama dua minggu ke depan. Ini merupakan
hal yang menarik sekaligus mengesankan bagi kami, karena 14 hari akan kami
lalui bersama, di tengah hutan belantara yang dikelilingi oleh berbagai macam
satwa dan tumbuhan. Uniknya, di sekitar resort Bekol ini banyak sekali
berkeliaran kera abu-abu, yang memiliki kebiasaan kawin lari hehehe, bahkan
terdapat juga seekor burung merak(Pavo
muticus) yang biasa berjalan-jalan di area sekitar kantin. Kami biasa
menyantap menu makan siang di kantin tersebut, ketika hendak mengisi kembali
bahan bakar untuk aktivitas khusus yakni ‘ngarit’ mencari rumput gajah ataupun ‘suket
teki’ untuk pakan banteng.
Pagi menyapa dari menara pengamatan
yang terletak di resort sabana Bekol. Kami mengamati perilaku Rusa timor(Cervus timorensis) menggunakan teropong
binokular, agenda kami pagi itu adalah mendokumentasikan aktivitas Rusa timor
pada pagihari di sekitar area kubangan, biasanya mereka akan banyak melakukan
aktivitas di tempat yang ketersediaan airnya masih cukup. Kami berlima berbagi
tugas, Hanif, Ayyas dan Talitha di menara pengamatan sementara Taufan dan
Annisa melakukan penyemprotan di kandang semi breeding untuk melakukan penyemprotan pada bagian-bagian tubuh
banteng yang terdapat jamur.
Siang yang terik memaksa kami untuk
benar-benar rehat. Syukur kami memilih waktu magang di penghujung tahun yang
menjadi pertanda baik bahwa selama di lapangan setidaknya kami akan berteman
juga dengan hujan. Seperti sudah menjadi kebiasaan mahasiswa seusai ‘ngampus’
tentunya berkumpul di kantin ketika jam makan siang tiba, kami yang usai melakukan
pengamatan Rusa timor dan penyemprotan cairan untuk menghilangkan jamur di tubuh
Banteng berkumpul di kantin yang cukup teduh, sebab tepat di sekelilingnya
tumbuh rimbun pepohonan bahkan sampai menutupi atap tersebut seperti memayungi
seorang yang sedang kehujanan. Pecel khas jawa timur kami pesan, dengan
beberapa gelas es teh juga cangkir kopi bagi Hanif dan Ayyas yang memang
menyukai kopi, kami tidak hanya berlima, melainkan bertujuh, dengan Mas Agus
dan Pak Suwono. Nah, Mas Agus ini selain beraktivitas sebagai supir mobil
patroli beliau juga mendapat ugas untuk memenuhi kebutuhan pakan dari para
banteng yang tinggal di kandang Perkawinan Semi Alami breeding. Pak Suwono adalah sosok unik yang pada tahun 2016 akhir
kami mendapat info bahwa beliau mengelola website Taman Nasional Baluran juga
dari beliau pula kami sedikit banyak belajar mengenai fotografi satwa liar
khususnya burung.
Dalam kurun waktu satu minggu
berjalan, ternyata kami kedatangan teman sesama mahasiswa Universitas Gadjah
Mada, mereka adalah rombongan magang dari Diploma III Pengelolaan Hutan
Fakultas Sekolah Vokasi, mereka berlima sama seperti kami, hanya yang berbeda
adalah kami bertiga laki-laki dan dua yang tersisa adalah perempuan sedangkan
mereka dua laki-laki dan tiga perempuan. Kami yang notabene banyak mempelajari
tentang anatomi, fisiologi dan behaviour
dari satwa akhirnya banyak didampingi oleh Mas Agus, Mas Rudi, Mas Rambular dan
Pak Suwono, sementara mereka yang mempelajari bidang kehutanan seperti General Forestry, Silvikultur, Manajemen
Hasil Hutan banyak didampingi oleh Polisi Hutan yang tinggal di barak yang
terletak di sisi barat laut dari kantor utama resort Bekol.
Ada satu agenda unik yang kami
lakukan bersama dengan rombongan magang dari Diploma III Pengelolaan Hutan UGM
yakni adalah mengenai manajemen dari pengelola Taman Nasional menyikapi
ramainya pengunjung pada pergantian tahun atau datangnya awal tahun. Nah, yang
unik dan langka bagi kami adalah kami harus menyisir satu area yang cukup luas
di sisi kanan jalan yang menghubungkan resort Bekol dan resort Pantai Bama, yang
mana adalah area beraktivitas bagi Kerbau liar (Bubalus bubalis), dan Rusa (Cervus
timorensis russa). Kami mengumpulkan ranggah-ranggah rusa timor dan
kemudian menaruhnya ke dalam bak viar, kala itu kami dipandu oleh Mas Rambular,
seusai mengumpulkan ranggah kami sama-sama bergerak menuju barak polisi hutan
dan akhirnya kami mengetahui kenapa ranggah Rusa harus diambil dan dikumpulkan,
sebab rangggah Rusa memiliki harga yang lumayan dan sering dicari leh warga
sekitar untuk diperdagangkan secara bebas dengan harga 70.000-80.000
ribu/kilogram. Padahal satu gagang ranggah rusa timor dewasa itu sekitar
berbobot tiga kilogram, kan lumayan hehe...
Bagi kami Taman Nasional Baluran
adalah surga bagi para terpelajar dan akademisi yang ingin melihat, mengalami
dan menjalani lebih dekat hidup dan mengelola satwa liar yang hidup di
ekosistem alaminya. Karena kami yang saat ini sudah menjadi seorang paramedis
ketika membicarakan hal-hal tentang pengobatan satwa yang terluka dan segala
macam penyakit yang berhubungan dengan satwa, maka kami belajar untuk terus
mengingat-ingat beberapa materi yang kami dapat ketika mengurus beberapa ekor
banteng di kandang semi breeding
seperti pengecekan urine, pengecekan sample feses dan penyemprotan cairan untuk
mengobati jamur pada tubuh banteng serta menyiapkan pakan berupa rumput bambu
dan rumput gajah setiap pagi dan siang hari. Sisanya adalah membantu
membersihkan area yang kotor, membantu kinerja petugas lapangan untuk
mengedukasi ke wisatawan yang melebihi batas aman pengunjung, mengumpulkan ranggah
dan bulu burung Merak yang terlepas.
Bonus yang kami dapatkan
berbeda-beda setiap pribadi dari kami berlima, hanya saja sempat terjadi dua
tragedi kecil berupa kecelakaan ringan yang menimpa Hanif dan Taufan. Tragedi
kecil yang pertama, awal mulanya adalah ketika pagi hari kami menuju ke titik
tempat biasa kami ‘ngarit’, terjadilah percakapan di pagi yang hangat iu, “Mas
Rudi, ini kita ngaritnya di bagian mana mas?”, tanya Ayyas sebelum memulai
‘ngarit’, “Baiknya ya ngga minggir-minggir ke jalan, soalnya yang banyak
rumputnya ya yang di dalam”, timpal Mas Rudi menjelaskan sambil menunjuk ke
arah rerimbunan rumput. Nah, sementara Hanif malah melipir ke sisi pinggir dari
area untuk ngarit dan dekat dengan jalan, dengan kondisi rumput yang tidak
rimbun dan suasana yang masih sunyi mengharuskan semua yang ngarit(kami berlima
dan Mas Rudi) berhati-hati ketika memegang arit, bahkan Mas Rudi sudah
mewanti-wanti agar memegang aritnya menjauh dari kaki dan memegang rumputnya
ketika akan dipotong berjarak dengan bagian rumput yang dipotong oleh arit.
Terjadilah sebuah keramaian di pagi yang sunyi setelah ibu jari tangan kiri
Hanif terkelupas satu centimeter kulitnya hingga ke bagian daging, sontak semua
langsung mendekatinya dan mencoba mencari solusi. Hanif yang mencoba menahan
perih dan menyeka darah yang terus mengucur deras keluar dari tempat
terkelupasnya kulit karena arit menyiratkan ketegangan di sorot matanya, Mas
Rudi mengarahkan untuk dibawa ke dekat kendaraan dan segera dibawa ke resort
Bekol untuk diobati. Dari arah barat daya terlihat seorang petugas tengah
tenang melaju melewati hutan evergreen,
ia mengarah ke arah kami. Entah siapa yang memulai pembicaraan dengan petugas
yang baru datang, mendadak ia langsung turun dan menanyakan kepada Hanif,
“Tangannya kenapa Mas?”, “Anu Pak, kecuil sama arit pas nyari rumput”, jawab
Hanif coba menjelaskan sembari tangan kanannya memegangi badan ibu jari tangan
kirinya. “Wah, yaudah saya ada kain di jok motor, nanti saya ambilin bensin mas
tahan rasa sakitnya, itu lebih baik untuk menghentikan darah yang terus
mengucur” lanjut si petugas yang baru datang dan langsung memberikan solusi
yang mencengangkan, akhirnya Hanif menepi dan duduk dipinggir jalan, lalu ibu
jarinya sudah dalam kondisi dibalut dengan sepotong kain yang diikat setelah
tadi disiram bensin oleh petugas supaya dapat menghambat semakin banyaknya
darah yang keluar.
Tak lama setelah pengobatan pertama
pada kecelakaan ringan tadi kini Hanif sudah terduduk di ruang tamu Resort
Bekol dengan tangan yang sudah dibalut dengan kain kasa dan hansaplast, kini ia
sudah bisa tersenyum meski tangannya masih berdenyut.
Foto Hanif saat sudah berada di Resot Bekol dengan kondisi Ibu jari tangan kiri yang sudah diobati |
Oh
iya, tragedi kecelakaan kecil yang kedua adalah ketika Hanif dan Taufan hendak
belanja kebutuhan pokok untuk masak di dapur, jadi waktu itu selepas ngarit
siang menjelang sore hari di resort bekol turun hujan yang cukup deras, karena
kondisi perut yang lapar dan belum makan siang, Hanif dan Taufan berinisiatif
untuk ke dapur, nah sayangnya gas elpiji tiga kilogram yang biasa digunakan
untuk memasak habis. Singkatnya Hanif meminjam motor cb milik Mas Rian(petugas
pos jaga resort Bekol) kemudian mengajak Taufan supaya bisa membawa gas dan
belanja kebutuhan lainnya, karena warung kelontong hanya terdapat di luar area
Taman Nasional jadi Hanif dan Taufan harus berkendara melintasi jalanan becek
sejauh sembilan kilometer dari Resort Bekol menuju Resort Batangan dan menemukan
warung di desa sebelah Taman Nasional. Saat perjalanan melewati hutan evergreen, jalanan yang dilalui makin
buruk, banyak jalan berlubang yang tentunya berbanding lurus dengan banyaknya
genangan air, permukaan jalan yang dominan dihuni oleh tanah ini kemudian
menjadi licin, satu tarikan gas yang dimulai oleh tangan kanan Hanif
memunculkan satu respon kaget dari Taufan yang membonceng di belakang dengan
tangan kiri membawa gas elpiji, disitulah mereka tergelincir dan bruuukk...
Hanif terbangun dan melihat motor yang masih
berputar roda belakangnya, sementara Taufan kesakitan dan berusaha untuk
berdiri, Hanif berjalan mendekati Taufan sembari mengulurkan tangan, “Gapapa
Fan?” telisik Hanif, “Aman kok Nif, cuman lecet aja masih bisa ku tahan” Taufan
sedikit berbohong sembari berusaha terlihat tenang, Hanif menyadari bahwa
beberapa bagian tubuh Taufan yang lecet harus segera diobati dan ia juga
merasakan ada darah yang mengalir di dengkul kaki kanannya, darah itu
memuncratkan warna merah di tempat sobeknya celana yang bergesekan dengan batu
saat mereka tergelincir.
Sebenarnya kami ingin sekali berbagi banyak cerita, tapi yang paling pasti adalah kami memiliki keterbatasan untuk mengingat dan berucap, semoga tulisan ini bisa mewakilkan kisah lima mahasiswa dan mahasiswi yang bersyukur bisa belajar dan melihat dari dekat ekosistem beserta penghuni Taman Nasional Baluran.
Foto Hanif saat mengamati aktivitas Rusa (Cervus Timorensis) dari menara
pengamatan |
Dari foto di atas kemungkinan Banteng dari kanan ke
kiri adalah Dony, Patih, Tekad dan Nina.
Sementara untuk nama-nama banteng dan waktu
kelahirannya yang terdapat di kandang Perkawinan Semi Alami Breeding (berdasarkan data 22/11/2020)
|
Aktivitas membersihkan kotoran banteng |
Ayyas dan Taufan menikmati lelahnya di sekitar
Pantai Perengan seusai mengumpulkan rumput gajah |
Hanif lebih dulu kembali ke Resort Bekol menggunakan motor Mas Rudi |
Akhirnya, Januari pun tiba, dan kami berkemas untuk pulang, kami berlima berpisah, Hanif dan Ayyas pulang paling akhir dan bermalam lagi di Baluran sementar Annisa, Talitha dan Taufan terlebih dahulu pulang ke Jogja menaiki Kereta Api Sri Tanjung dari Stasiun Banyuwangi Baru.
Dan
sebelum tulisan ini berakhir, izinkan penulis mengutip sebuah ayat yang berarti
”Sebaik-baik manusia adalah manusia yang
bermanfaat untuk manusia lainnya” ketika sudah berusaha untuk bermanfaat ke
sesama manusia, mari tumbuhkan rasa saling cinta kasih pada flora dan fauna.
Salam lestari~
Komentar
Posting Komentar