Klaten - Surabaya - Malang (Jalanan Adalah Sekolah #1)
Tiok dan ransel kulkasnya, di tengah trotoar jalan di area Pabelan, Kartasura. |
Terminal Penggung | Pukul 22.00 WIB
Seorang
pemuda dengan tas ransel dibahu dan didepan dadanya membusung seperti orang
yang tengah bunting kembar dua anak, di telinganya terpasang earphone dengan lirik, ”dan bagi kami
jalanan adalah sekolah, tapi ingat jangan anggap kami sampah.”
Satu jam
sudah pemuda bernama lengkap Hanif Nur Hassan Al Faruqi menjejakkan kakinya dan
berjalan ke arah utara dan selatan sembari matanya mendelik teliti memantau sesiapa saja yang
turun dari mobil bak
atau truk. Ia menunggu seorang kawan, yang siang hari berkunjung ke rumahnya,
seorang itu bernama Tio Fauzi. Kebuntuan akan menunggu ia obati dengan terlelap
di pelataran sebuah toko waralaba yang meyisakan sebuah bangku tanpa orang yang
mendudukinya, tas ransel diletakkan,
merebahlah ia pada sebidang kayu memanjang dengan papan persegi panjang sebagai
penopang pada rangka belakangnya. Di kedua telinganya masih tersangkut earphone putih yang segera rusak
bassnya. “Aku harus tidur, sebelum perjalanan panjang ini dimulai”, batinnya
sembari menghembuskan nafas dalam-dalam, ada harap dan cemas yang ia semogakan,
yakni kedatangan kawan seperjalanannya.
***
Angin malam menerkam seonggok daging
yang tertusuk dinginnya dini hari, sesekali sayup-sayup suara mesin kendaraan
membangunkan fikirannya yang beberapa saat sempat rehat. Seorang laki-laki berdiri dari
pembaringannya, dengan kusut ia lucuti pandangannya ke semua sisi, mengharapkan
ada seorang laki-laki lainnya yang juga melakukan hal yang sama. Lima menit
menyadarkan diri, ia melihat seorang dengan sepatu trekking celana waterproof
warna hijau zaitun berdiri tepat di bawah gerbang Terminal Penggung,
seorang itu adalah kawan bakal perjalananya, mereka saling berteriak, “Jaaak?!”
teriak seorang dari timur jalan, “Yoook?!” sahut seorang yang berdiri tepat
dipinggir jalan sisi barat. Jak adalah sapaan akrab untuk Hanif.
Jak
dan Tiok akhirnya bertemu, mereka adalah sepaket perjalanan tak bertujuan,
namun satu kepastian yang ada dalam benak mereka berdua adalah mencari
tumpangan menuju timur.
Kartasura, 11
Agustus pukul 01.15 WIB
Tiok sudah
berdiri di tengah
trotoar jalan yang menengahi sisi kanan dan kiri jalan, matanya tak berkedip
memandangi arah truk yang bergerak menuju arahnya, sementara Jak tengah sibuk melihat
google maps dari layar hpnya,
dibagian atas tertulis Malang, Jawa Timur. Ya, mereka sedang berusaha mencari
tumpangan menuju Malang, sebuah wilayah yang di dalamnya terdapat
beberapa kawan dekat Jak.
Malang menjadi tujuan yang pertama muncul seketika truk yang mereka tumpangi
mengantarkan mereka dari Terminal Penggung menuju Pabelan, Kartasura.
Jalanan
yang lengang, angin yang sedikit lebih kencang dari awal malam, maklum ini
sudah pagi hari, lebih tepatnya dini
hari.
Sesaat
ketika Tiok duduk di trotoar pemisah jalan mereka akhirnya kedatangan sebuah
truk tronton dengan huruf depan dari plat nomornya adalah “S”, “Wah, Suroboyo
iki Yok!”,spontan muncul dari Jak
yang sedang berdiri di dekat
lampu lalu lintas jalan, “Iyo ki Jak”, sahut Tiok berusaha optimis.
Beruntung lampu yang menyala adalah merah, berarti truk akan berhenti. Lalu,
“Cak, sampean kate arah nandi?”, tanya Jak,
“Suroboyo aku, Mas”,jawab Pak Supir “Nunut oleh ra, Cak?, tanya hanif kedua
kali, “Yo, munggaho mas!”jawaban yang keluar dari mulut Pak Supir sekaligus
perintah untuk naik ke bak belakang.
Tiok dan Jak pun berada di bak
belakang dengan sedikit menjaga keseimbangan, sebab jalan yang akan dilalui ini
nanti adalah bukan jalan tol, kemungkinan mereka harus bersiap dengan perut
yang akan dikocok habis-habisan sebab jalanan begitu lengang;truk
akan berkecepatan tinggi
dan jalan tak selalu mulus;kadang berlubang dan tidak rata.
Jak yang sejak awal
menyadari bahwa perjalanan panjang dengan truk tronton yang akan membawanya
bersama Tiok menuju Surabaya perlu disiasati menawarkan sesuatu pada Tiok,
“Yok, awakmu ndue dan nggowo hammock kan?”, tanya Hanif “Iyo Jak, lha dipasang
po?” timpal
Tiok, “Iyo ki kudu disiasati nek ra yo kujur dewe”, Balas Jak dan segera menuju ke tas
carrier Tiok yang berukuran 60+15
liter.
Hammock terpasang, dua pemuda
masing-masing tidur bergelantungan ditengah perjalanan menuju Tanah Pahlawan,
Surabaya.
Perjalanan
panjang dengan naik turunnya tekstur aspal jalan dan sesekali kubangan yang
membuat truk harus berjalan pelan menyadarkan Jak pada pagi hari, ternyata truk
sudah membawa mereka hingga tiba di Lamongan. Hanya dalam hitungan jam mereka
akan segera tiba di Surabaya.
Tanjung Batu,
Surabaya | 10.00 WIB
Waktu
berlalu, dan bekal terbaik mendapatkan tumpangan menuju daerah Pandaan adalah dengan
berkomunikasi, sudah tiga jam kami berada di sebuah tempat dimana bertumpuk container, sembari mencari truk yang
akan menuju ke Malang kami berbicara tentang bagaimana caranya memaksimalkan
peran security. “Mau kemana Mas?”,
tanya seorang petugas keamanan, “Mau ke Malang pak, kami dari Klaten
numpang-numpang truk, semalam dapat tumpangan truk dari Kartasura dan sampai
sini kami turun” dengan gamblang Jak
menjelaskan pada petugas keamanan, “Oh tunggu dulu mas, nanti jam satu truk
yang warna hijau itu arah ke Pandaan, dari Pandaan ke Malang sudah dekat Mas”,
jelas petugas cukup membantu ketenangan kami.
Saat duduk di samping sopir, perjalanan menuju Pandaan dari Tanjung Batu, Surabaya. |
Tiga jam
menunggu truk tumpangan adalah tantangan yang mengharuskan kami terpincut
dengan dawet ayu yang laris-manis dipinggir jalan, aku lantas bilang pada Tiok,
“Tak pesenke loro ya?”, “Woh ya, siap.”, jawabnya. Enam ribu rupiah melayang
terganti dengan kesegaran sesaat, matahari yang terik dan dahaga kami yang
sedikit terlegakan. Waktu dzuhur tiba, kami berkomunikasi untuk mengamankan tas
bawaan kami dan menitipkannya pada satpam yang berjaga.
Lelahnya
setengah hari sejak semalam kami berada di atas kendaraan dan kini tengah berada
di sebuah gudang logistik dengan ratusan truk yang terparkir, mendekam dalam
mushola kecil dan mengirimkan sebait do’a kepada Sang Pemilik segalanya.
11
Agustus 2020 menjadi hari dimana kami
menjejakkan kaki di bumi Arema – Arek-arek Malang. Sebuah perjalanan yang
sejatinya tidak direncanakan mengantarkanku pada pertemuan dengan kawan-kawan
lama di Malang yang sebelumnya sudah pernah Jak temui pada tahun 2017 dan 2019.
Setibanya di Malang Jak
langsung mengabari Bima, pemuda tanggung lulusan SMK Grafika yang rumahnya
pernah disinggahi
sepulang dari kegiatan magang di Taman Nasional Baluran, Situbondo.
Siang
yang terik, selepas menuruni sebuah kolbak (mobil bak) dari daerah Pandaan
yang berbaik hati memberikan tumpangan pada kami sampai Kota Malang. Hari itu
Malang cukup riuh dengan bendera dan banner
yang berwarna merah, biru dan putih serta hitam. Arema berulang tahun pada usia
yang ke 33 tahun, kemeriahan yang dirayakan dengan cara berbeda karena wabah
pandemi yang sudah berjalan lima bulan. Kami turun dari kolbak dan mengucapkan
terima kasih pada pak supir. Beberapa menit kami menunggu di depan sebuah toko
besi, Bima
datang dengan seorang lainnya, mereka membawa motor dan helm untuk menjemput
kami. Perjalanan yang sungguh tak memberi kabar apapun pada kawan-kawan di
Malang membuat Bima bertanya-tanya, “Ada apa mas, kok sampean diam-diam sudah sampai Malang?”, “Haha iseng Bim, pengen
jalan aja ke Timur, kota yang dipilih sebagai transit pertama ya Malang.”,
“Oalah, gitu to, yaudah mas yok tak bawa ke tempat temenku.”
Malang
pada sore hari lebih dari sekedar cukup untuk mengatakan bahwa suasana yang
sangat pas untuk dinikmati dengan segelas kopi. Jalanan yang tak begitu padat
dan langit yang mengabarkan bahwa hujan akan segera turun – kelabu memenuhi
sebagian besar langit kota Malang.
15
menit membelah jalanan kota Malang dan menghirup udara segar aroma sore
menjelang petang kami tiba di sebuah toko tembakau. Jak turun dari motor, Bima
memarkir motornya. Hal yang sama dilakukan oleh kawannya Bima yang kemudian
memarkirkan motornya setelah Tiok turun dengan menggendong ransel seukuran
kulkas mini di pundaknya. Langit semakin gelap, kami duduk di teras rumah
sebelah toko tembakau milik kawannya Bima. Seorang laki-laki keluar dari toko
bersama seorang perempuan dan menyambut kedatangan kami, laki-laki itu akrab
disapa Beyes. Kami berbincang sejenak, Bima yang penasaran dengan perjalanan
yang Jak dan Tiok lakukan bertanya lagi, “Mas, sampean seadanya dulu ya duduk disini,
nanti biar tak bawa ke rumah.” Bima bertanya sembari menawarkan, ku jawab, “
Ah, ndak usah Bim, santai, nginep dimanapun jadi, sekarang aku rehat dulu.”
Bima mengangguk dan masuk ke dalam toko, sekembalinya dari toko dibawanya
sebungkus tembakau
dan papir – kertas untuk melinting tembakau. Tiok mengeluarkan botol termosnya
dan menenggak teh hangat yang tersisa setengah.
Entah
memang insting atau batinku yang sudah bergejolak bahwa sore ini akan turun hujan atau
memang sebab sudah berhari-hari Malang tak diguyur hujan, sore yang cukup teduh
itu akhirnya menjadi semakin tentram sebab guyuran hujan yang membasahi
muka-muka jalan, seperti ingin ku gapai gawai cerdas milikku dan lekas memutar
puisi Denny Mizhar yang dinyanyikan oleh Han Farhani.
-
Karena sepi
Di musim hujan
Dalam lena air berjatuhan
Pada puncak resah kita putuskan
Hidup tak pasti terencana...
Sembari
Jak
tarik nafasnya
dalam-dalam coba ia dalami lirik-lirik yang selaras dengan keadaan hari itu.
Ah, tahun yang berbeda memang. Banyak kepahitan dalam luasnya keinginan, namun Jak menyadarinya sebagai
sebuah proses, karena tujuan bukanlah yang utama. Wabah Covid-19 yang
merajalela menjadikan orang-orang terpaksa menunda semua aktivitas luar ruang
dan mimpi-mimpi yang terjebak keadaan, akhirnya menggantung di langit-langit
harapan. Jak memilih bercengkerama dengan Tiok selepas ditinggal Bima dan
kawannya masuk kembali ke dalam toko, kami berbincang perihal kemungkinan
berapa lama akan bertahan di Malang. Sebab, tujuan utama kami sejak awal adalah
keluar dari pulau Jawa.
Keinginan
memang tak melulu sejalan dengan kenyataan. Seringkali kenyataan menampar
hening dan sunyinya angan. Awal Januari tahun 2020 Jak dan Tiok berencana untuk
melempar cita dan asa untuk mencumbui nadi kehidupan di Pegunungan Leuser,
Sumatra Utara. Gagasan yang muncul sebab ajakan Tiok untuk melakukan perjalanan
jauh dan mendaki gunung yang memiliki perbedaan medan dan vegetasi pada umumnya
gunung di pulau Jawa. Persiapan kami susun dalam kerangka yang menjadi acuan
untuk menuju Aceh, bahkan sudah menghubungi beberapa pihak yang memang nantinya
bisa membantu kami untuk akses menuju pintu gerbang Gunung leuser. Hidup tak
pasti terencana, kenyataannya kini kami sedang di Malang, perjalanan yang
mengarah ke timur bukan ke barat.
Gerimis
belum reda, setelah menderas puluhan menit dan mengisi kekosongan saluran air
yang sempat kering. Jak
baru selesai melepas charger hp dari
stop kontak, Tiok menyapu pandangan ke sekitar teras rumah, “Jak, kamar mandi nangndi yo?” Aku turut menyapu pandangan
ke sekitar dan mendapati sebuah lorong kecil di pojok kanan tempat kami duduk
di teras rumah, setelah coba Jak
masuki lorong didapatinya pintu kamar mandi di deretan jendela
kamar rumah. Tiok berusaha mencari-cari alasan supaya tidak terlihat
‘nyelonong’, namun kondisi rumah memang sepi dan saat Jak menanyakan pada Bima, ia
menggeleng. Dengan sedikit keterpaksaan untuk tak sopan dan demi menuntaskan
kotoran dari saluran kemih, Tiok memasuki kamar mandi. Begitulah yang terjadi,
kami tidak merencanakan hal-hal yang kami rasa bisa disederhanakan ketika kami
berada di perjalanan.
Malam
semakin gelap dan waktu sudah menujukkan pukul 20.00 WIB, Jak berinisiatif meminta
Bima untuk mengantarkannya ke kedai kopi milik Sam Bayu, seorang yang dikenalnya
pertama kali saat berkunjung ke Malang tahun 2017, saat itu, Jak bertemu
dengannya ketika pagi hari secara tak disangka ia berada di tempat Jak menumpang
– rumah Bima. Selepas reda hujan yang turun deras sejak sore akhirnya kami
bergegas dengan do’a dan keyakinan supaya langit sejenak berhenti tak
menurunkan air kebaikannya.
21.35 WIB
| Kedai Nadi
Langit masih kelabu, gerimis kecil
turun menguasai suasana, samar Jak lihat dari luar, tempat ini cukup mungil
namun memicu rasa penasaran berlebih untuk menelisiknya lebih dalam, rinai
gerimis masih menawarkan udara segar dan malam itu rasanya cukup sejuk udara
yang ia hirup. “Woh, tamu jauh reek.” Seloroh Sam Bayu saat menyapa pertama
kali menyaksikan kedatangan Jak, bahkan, belum sempat Jak mengucap salam.
Kami berjabat erat dan saling melihat satu sama lain, menelisik kawan yang sudah lama tak dijumpai kami sama-sama perlu duduk bersama, kedai ini hanya terlihat sederhana dari depan, sedangkan setelah masuk ke dalamnya rasanya begitu megah dengan beberapa interior yang disusun secara artistik. Oh iya, tak lupa Jak mengenalkan Tiok pada Sam Bayu, di kedai ini ia tak sendiri, seorang perempuan yang bernama Mawar menemaninya mengelola kedai yang bergerak sejak awal tahun 2020.
Sam Bayu, Mawar dan Tiok di ruang tengah kedai Nadi. |
Langit malam semakin gelap, kami
yang letih terlelap. Esok rencana kami adalah mengikuti agenda dari Sam Bayu.
Tiok yang penasaran dengan beberapa hal di Malang mulai mencari-cari tempat
yang asik untuk dijajaki. Sementara itu, Jak mulai berinisiatif untuk melihat
keluar kedai dan berjalan-jalan santai, kedai ini bertepatan dengan sebuah
makam yang lumayan luas dengan keberadaan makam menjadikan wilayah ini tidak
seperti pemukiman yang padat, sebab di makam pasti terdapat banyak pepohonan.
Belum lagi, terdapat pula sungai yang mengalir airnya dan masih digunakan oleh
masyarakat untuk menangkap ikan dengan memancing.
Ada
satu hal yang ingin Jak ceritakan terkait bagaimana kami bertahan dengan dana
seadanya, yakni mencari tempat-tempat yang memungkinkan kami mendapat makanan
secara gratis namun bukan dengan mengemis. Jadi, hal yang sifatnya meminta kami
hindari, terkecuali meminta izin untuk menumpang. Soal makan memang harus
disiasati dengan mudah dan sejak awal, karena bila tidak perjalanan yang
diniatkan akan berlangsung lama dan panjang bisa jadi cepat goyah dan
melemahkan niat awal yang membumbung tinggi.
Singkatnya, kami berkesempatan untuk
mendapatkan rezeki berupa beberapa nasi bungkus dari penderma di pinggir jalan
yang menyediakan nasi secara gratis, dan ‘ndilalah’nya
lagi kami berjumpa dengan momen hari besar umat Islam, yakni Jum’at. Secara
tidak diniatkan untuk mendapatkan nasi bungkus, ternyata tempat kami mendirikan
sholat Jum’at menyediakan nasi bungkus dan minumannya. Sungguh, karunia yang
indah dari Sang Maha Pemberi Rezeki.
Malang yang menyimpan beragam
keramahan dan kekhasan masyarakatnya juga menawarkan beberapa tempat unik untuk
kami datangi, tentu bersama Sam Bayu dan Mawar, berkat mereka kami bisa
mengunjungi warung kopi pinggir jalan yang harganya murah tapi pengunjungnya
sampai tumpah-tumpah, tak jauh dari situ, Sam Bayu menawarkan pada Jak dan Tiok
untuk melihat-lihat dagangan para pedagang berupa beragam kebutuhan rumah,
pakaian sampai perlengkapan elektronik yang sudah dipakai sebelumnya alias
bekas. Disitulah Tiok membeli topi koboi seharga sepuluh ribu rupiah,
pengeluaran kedua kami setelah kami mengeluarkan uang untuk membeli dawet di
Tanjung Batu, Surabaya.
Tiok, saya dan mbak Sindy yang tengah menggendong putranya, Mada. |
Siang hari selepas ngopi, kami
menuju ke sebuah alamat, sebuah undangan untuk mampir ke rumah dari mbak Sindy.
Alkisah tiga tahun silam, Jak bertemu dengannya di Jogja dan di Malang. Bersama
Mawar, Tiok dan sam Bayu, Jak berkunjung ke alamat yang dikirim melalui whatsapp. Ternyata, rumah itu sekaligus
sebagai warung yang dikelola oleh budhenya mba Sindy. Kami bercerita soal
mengapa melakukan perjalanan ini saat mba Sindy melempar beberapa pertanyaan,
hanya keberanian dan percaya akan banyak hal baik yang bisa ditemui di jalan
maka kami selalu bergerak dari satu titik menuju titik lainnya.
Sam Bayu dan Mawar pamit untuk kembali ke kedai karena keadaan kedai
yang riskan kalau ditinggal berlama-lama tanpa orang yang menjaga. Jak dan Tiok
dijamu mbak Sindy yang mempersilakan dengan bebas memilih menu makan yang ada
di rumah itu, sembari makan, kami lanjutkan lagi berbincang ihwal perjalanan
sebagai obat kesedihan maupun kegalauan. Tak lama kami bersilaturahmi,
nampaknya Jak dan Tiok musti pamit, teriring rasa syukur tak disangka-sangka
mendapat undangan jamuan makan dan suntikan semangat untuk kelancaran
perjalanan. Sesaat kami pamit, senyum Mada, putra mba Sindy mengembang begitu manis,
semanis perjalanan kami nanti, semoga.
Manajemen uang kami sangat-sangat
pelit untuk pengeluaran yang sifatnya tidak membuat kami senang ataupun kami
butuhkan, penting. Lima hari di Malang juga menjadi sebuah awal bagi kami untuk
melihat lebih dekat hutan-hutan alami yang tumbuh di wilayah pegunungan,
hebatnya adalah kunjungan kami saat aktivitas luar ruang dan pariwisata belum
diizinkan. Otomatis dengan keadaan yang seperti itu, menjadikan pemain dan
pengelola pariwisata juga menghentikan aktivitasnya sebagai pengelola, baik itu
di kantor untuk urusan administrasi ataupun jasa pemanduan wisata. Seperti pada
esok harinya selepas kami tidak bepergian dan sibuk melakukan hal-hal baik
selama dua hari di Kedai Nadi,
Jak, Tiok dan sam Bayu – Pemilik Kedai
Nadi (Kopi dan Rempah) bergerak menuju Kabuapaten Malang menggunakan sepeda
motor mio putih. Rencananya kami akan berkunjung ke rumah pak Madrib – petani kopi
yang kopinya didistribusikan untuk kedai-kedai kopi di Malang, salah satunya
Kedai Nadi yang mengusung konsep berupa kopi dan rempah. Menarik bukan, sebuah
kedai menyediakan kopi berpadu sekaligus minuman rempah?
Mandi
dan sarapan sudah, selanjutnya kami bergegas packing mempersiapkan perlengkapan yang akan kami butuhkan untuk
bersederhana dan lebih dekat dengan alam Coban Parang Tejo. Tiok membawa satu
tas ransel miliknya, dan Sam Bayu memakai satu daypack merk Consina untuk diletakkan di bawah kaki supir yang
cukup untuk meletakkan barang-barang berukuran sebesar tas carrier. Helm hanya terdapat satu di Kedai, kami sepakat untuk
menggunakan topi untuk menggantikan helm sebagai penanda kami menggunakan
pengaman.
Sebab
Kedai harus tetap ada yang jaga, Mawar – partner
Sam Bayu dalam berbisnis sekaligus mengembangkan Kedai Nadi harus berjaga
selama Jak,
Tiok dan Sam Bayu pergi ke coban Parang Tejo. Kedai yang pada tanggal 17
Januari yang lalu genap berusia satu tahun ini mengklaim rumahnya sebagai kedai
sederhana, perpustakaan dan kebun permakultur nadi sekaligus juga rumah
produksi.
Tawaran
untuk mengunjungi Coban Parang Tejo ini memang sudah dibicarakan sejak malam
harinya. Sam Bayu yang berinisiatif menawarkan pada Jak dan Tiok yang datang
dari Klaten dan sudah tiga hari menginap di kedai miliknya menjadikan kami
turut serta sedikit banyak berbaur dengan para pengunjung dan kebun permakultur
yang berada di belakang kedai.
Kedai
yang terletak di Jl. Pisang Kipas No.24-23, Jatimulyo, Kec. Lowokwaru, Kota
Malang, Jawa Timur ini cukup memudahkan
kami untuk mempercepat waktu menuju Dusun Princi, Desa Gading Kulon, Kecamatan
Dau, Kabupaten Malang, tempat dimana coban Parang Tejo berada.
Jalanan
yang kami tempuh adalah jalan pintas
sehingga kami bebas melenggang tanpa takut terjebak kemacetan. Kami melenggang tepat
pukul 10.45 WIB dari Kedai menuju ke coban Parang Tejo. Dalam kondisi wabah
pandemi yang masih berjalan, Jak
cukup yakin bahwa ketika nanti tiba di lokasi, pasti akan sangat sepi dan kami
bisa lebih dekat dan intim berkomunikasi dengan alam.
Kami
melewati satu persatu pemukiman warga, hingga kemudian mencapai jalan menanjak
yang di sekelilingnya berderet ladang-ladang warga yang ditanami berbagai macam
tanaman buah dan sayur mayur, salah satu yang sangat terlihat adalah buah jeruk. Cuaca yang cerah,
membuat kami tidak berjumpa dengan kabut yang biasa menghiasi rumah-rumah warga
ketika musim penghujan datang. Setidaknya akan sangat mudah menjumpai kabut
tipis saat sore menjelang petang.
Kami
bertiga menaiki satu motor, dalam kondisi jalan menanjak tentu harus memainkan
gas dengan baik supaya tidak mengharuskan salah satu penumpangnya turun untuk
mengurangi beban. Jak
mengeluarkan smartphone dan
mengabadikan momen anak-anak seumuran sekolah dasar dan sekolah menengah
pertama yang sedang megendarai motor yang sudah dimodifikasi khas masyarakat lereng
perbukitan. Motor bebek yang sudah diganti rodanya dengan roda motor trail yang
siap untuk menembus tanah dan batu-batu keras guna memudahkan akses warga pergi
dan pulang dari rumah menuju ladangnya dan kembali lagi ke rumah.
Jak benar-benar terpaksa
turun karena tikungan tajam menyendat laju motor yang dikemudikan oleh Sam
Bayu, “Jak, turun dulu ya, itu lho tanjakannya mantep”, pinta Sam Bayu. “Okelah
Sam, aku turun”, timpal Jak, ia melangkah perlahan di belakang, membiarkan Sam
Bayu dan Tiok melaju lebih dulu di depan, sampai nanti ketika jalan sudah
landai Jak
akan mendekat dan membonceng lagi, kasihan juga motornya, sudah kecil dibuat
boncengan bertiga.
Coban
Parang Tejo hari itu sangat-sangat sunyi, hanya dua kali kami menjumpai warga
yang sedang bercocok tanam di ladangnya. Bahkan kami tak menemui petugas yang
biasa berjaga di pos registrasi untuk mengurus tiket masuk ke kawasan wisata. Seperti
yang Jak prediksi sebelumnya.
Jadilah kami ‘nyelonong’ masuk karena sebelumnya sudah izin ke warga dan mengatakan
hendak
bertemu pak Madrib di ladangnya, juga infromasi yang kami dapatkan dari istri
beliau ketika kami mendatangi rumahnya, bahwa beliau sedang di ladang.
Motor
diparkir tepat di depan gazebo kecil yang dibangun di samping pohon cemara,
dari tempat kami sekarang berdiri terlihat lanskap berupa bentang alam yang
sangat hijau dan menyejukkan. Jak
sudah tak sabar ingin segera menuju ke air terjun. Sungguh, keanekaragaman yang
harmoni. Aroma tanah yang lembab dan desir angin yang menggelitik tubuh seperti
memberi sambutan sederhana pada pendatangnya. Semoga kami diterima dengan baik,
sebab niat awal kami memang bukanlah sesuatu yang buruk, pertama, kami ingin
menemui bapak yang hasil kopinya selalu diambil Sam Bayu dan kedua, ingin
sedikit lebih dekat dengan alam.
Berjalan
paling belakang Jak
berhasil mendokumentasikan kesunyian rimba raya dari hiruk-pikuk manusia, jalan
setapak yang kami lalui cukup baik kondisinya dan tidak butuh waktu lama untuk
kami bisa menjumpai ladang milik Pak Madrib, ada yang khas disini, warga yang
memiliki ladang kemungkinan besar memiliki hewan peliharaan. Sepeti pak Madrib
yang memelihara anjing. Anakan anjing berjenis rottweiler tersebut kemudian
menjadi beringas karena kedatangan ‘tamu asing’. Ya, kamilah tamunya. Sam Bayu
langsung mendekati bapak bersama Tiok, Jak
masih sibuk mengarahkan kamera untuk menangkap gerak-gerik anjing yang
dipanggil oleh pak
Madrib dengan panggilan Mendol (Olahan tempe yang hampir busuk) yang memiliki
ciri fisik berbadan pendek, kekar dan berwarna
hitam menjadikan aura sangar muncul dari perangainya.
Pak Madrib seusai mengumpulkan kayu bakar di lahan tempat ia menanam. |
Kami
bercengkerama dengan bapak dan membicarakan matinya beberapa pohon kopi dan
alpukat sebab banjir pertengahan Desember tahun 2019. Sesekali juga menyentil
kasus matinya seekor lutung jawa (Trachypithecus
auratus) di Hutan Lindung yang ada di Dusun Princi, tepatnya berada di
jalur pendakian menuju puncak Cemoro Kandang. Berita naas itu sampai membuat
gempar orang-orang elit di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jak mengetahuinya dari ‘mbah google’ bahwa
tim ProFauna (organisasi independen non profit yang
bergerak dibidang perlindungan hutan dan satwa liar) dan BKSDA (Balai
Konservasi Sumber Daya Alam) Jawa Timur, Perhutani dan warga Dusun Princi pada
11 Agustus 2020 mendatangi tempat kematian tragis Lutung Jawa tersebut. Spesies
ini berstatus dilindungi berdasarkan undang-undang Republik Indonesia sejak
1999.
Miris memang, saat berbicara tentang kehidupan manusia
yang lebih sering merusak habitat tempat satwa hidup dan berkembang biak, lebih
lagi bahkan memburu dan menyakiti satwanya untuk diperdagangkan secara ilegal
dan yang lebih menyedihkan adalah dikonsumsi karena kepercayaan yang tidak bisa
dijelaskan melalui uji klinis, alasannya paling sering adalah untuk
meningkatkan vitalitas dan sesak nafas. Kembali lagi pada manusia, alam akan
tetap baik-baik saja tanpa manusia, begitu juga dengan satwa. Manusia adalah
‘hewan’ paling rakus yang pernah ada. Seperti lirik lagu milik solois kurang
terkenal (skuter) yang akrab disapa Mas Iksan Skuter,
Manusia itu binatang
Yang diberi akal pikiran
Yang suka menumpuk harta dan semuanya
Manusia itu binatang
Penguasa rantai makanan
Makhluk karnivora juga herbivora
Binatang yang paling
merusak
Binatang yang paling serakah
Adalah manusia
Manusia itu binatang
Perusak peradaban zaman
Yang berfoya-foya dan suka pesta-pora
Binatang yang paling merusak
Binatang yang paling serakah
Binatang yang paling merusak
Binatang yang paling serakah
Adalah kita semua.
Aku, kamu, kita, kalian
Semua adalah binatang.
Usai
bercengkerama,
kami bergerak ke jalur setapak yang menuju ke arah air terjun, kami pamit pada
bapak dan beliau berpesan untuk singgah di rumahnya sepulang dari berkomunikasi
lebih intim dengan alam Coban Parang Tejo, kami mengiyakan dan melanjutkan perjalanan.
Setelah usai mendapati gemericik air
masuk ke gendang telinga, Jak bergegas mengamati area sekitar. Benar adanya, pandemi memberi dampak
positif untuk pengembalian ekosistem di lingkungan Coban Parang Tejo.
Musim
penghujan belum datang, tapi air terjun Parang Tejo tetap mengalir dari tebing
setinggi 10 sampai 12 meter. Tidak ada manusia lain ketika kami tiba, hanya
kicauan burung di tajuk-tajuk atas pepohonan, kami senang karena sepi kami bisa
lebih khidmat bermeditasi.
Seperangkat
alat memasak air kami siapkan, tentunya bukan kompor mini dan gas yang kami
bawa, kami memang berencana untuk membuat perapian kecil supaya lebih terasa wild dengan memanfaatkan ranting-ranting
pohon dan daun-daun yang berguguran. Jak
sibuk menyiapkan perapian, Tiok dan Sam Bayu mengumpulkan ranting dan daun yang
tergeletak di sekitar batu besar tempat kami meletakkan barang bawaan.
Api
sudah menyala, sebuah panci untuk memasak air disiapkan, tiga cangkir untuk
kopi sudah tak sabar berjumpa dengan hangatnya air panas dan kami menunggu air
matang sembari menikmati udara segar dari rimba yang mengandung invetasi
oksigen untuk kini, esok dan selamanya.
Asap
membumbung dan bergerak mengikuti arah angin, Tiok dan Sam Bayu saling
becengkerama, keduanya usai menyesap kopi yang sudah tidak panas. Tenang,
barangkali masa muda adalah masa yang baik untuk diisi dengan hal-hal yang
ingin terus dicapai, dibagi dan digali. Tidak perlu menunggu menjadi seseorang
untuk melakukan sebuah perjalanan yang bermakna, karena kemanapun langkah kaki
melangkah, asal diawali dengan niat baik langkah-langkah itu akan bertemu
tangan-tangan yang tak segan membantu tanpa pamrih. Tenang, Pencipta alam
semesta akan merawat dan mengasihi semua makhluk, tak terkecuali kita;manusia.
Kopi
sudah habis, berbatang-batang rokok kretek alami khas Sam Bayu seharga enam
ribu rupiah
menyisakan abu dan puntung yang ikut terbakar di perapian. Jak teringat bekal kami
untuk makan siang, Tiok menyimpan dua bungkus indomie yang bisa dinikmati untuk
mengisi
tenaga. Lagi, panci dituang air dan diletakkan diatas perapian, kami masih
ditemani burug-burung dengan nyanyiannya dan gemericik air yang jatuh menghujam
ke tanah dan bebatuan.
Perjalanan
kerap membuat seseorang menjadi lebih kreatif, setidaknya itu yang terjadi saat
kami berusaha menyiapkan sumpit untuk menyantap mie berkuah yang ada di dalam
panci, bermodal orientasi ke sekitar lingkungan, memungut beberapa ranting dan
mengulitinya hingga bagian dalam, hingga jadilah sumpit alami dari ranting
kayu. Seperti ingin mengucapkan, “Sang Maha Pencipta Alam Semesta sudah
menyediakan segalanya, tinggal bagaimana kita berfikir untuk mengelolanya.”
Kami
bertiga merapikan barang-barang, waktu sudah sore, hawa dingin sedikit menusuk
ke pori-pori kulit, langit tetap cerah dan nampaknya kabut akan segera hadir,
kami kembali ke parkiran dan bergegas menuju rumah bapak, disana kami sempat
menyantap hidangan sederhana ala pedesaan dan menikamti minuman fermentasi
buatan bapak, juga berbincang dengan tetangga bapak yang mempelihara beberapa
ekor sapi friesian
holstein.
Saya dan Tiok sepakat untuk membeli susu satu liter untuk diminum di kedai nadi.
Sam Bayu, tetangga pak Madrib dan saya. Kami berbincang soal sapi dan pemeliharaannya. |
Sore
selepas sholat di masjid terdekat kami pamit kepada pak Madrib dan istrinya
untuk pulang ke kota,
terima kasih
untuk sedikit perapian, penyusuran sungai, perbincangan dengan petani dan
peternak yang memberikan pembelajaran
tentang kopi, satwa dan masyarakat desa yang hidup sederhana dan selalu
bersemangat menggarap ladangnya. Berkah dan sehat selalu masyarakat Dusun
Princi, salam untuk rimba Coban Parang Tejo yang menenangkan.
Seharian banjir peluh di Parang Tejo
kami akhiri dengan menghirup udara segar khas kaki gunung. Sebelum maghrib,
kami tiba di kedai, belum ada pengunjung namun sore itu cukup khidmat, suasana
yang sunyi dan lampu bohlam oranye yang mengisi ruang utama kedai menjadikan
nuansa begitu epic dan memorable sekali. Hilang sudah letih
seharian seusai mengguyur tubuh dan menyeduh segelas kopi kesukaan. Di dekat
kedai terdapat sebuah mushola yang kami jadikan untuk tempat sholat sekaligus
bersih diri. Jaraknya yang hanya berkisar seratus meter dari kedai menjadikan
Tiok rajin pulang pergi ke mushola setiap pagi untuk mandi.
Rencananya esok hari, jikalau jadi,
kami akan tuntaskan Malang malam ini dan beranjak menuju Timur siang hari.
Lelah kami terbayar sudah, obrolan
orang-orang di kedai bila sudah malam akan semakin menjadi-jadi. Ditambah area
belakang kedai yang didesain sebagai ruangan terbuka dengan beragam tanaman
yang ditanam Mawar dan sam Bayu, malam itu Mawar dan Tiok bersilaturasa di
depan sebuah tungku yang apinya menyala-nyala, hawa dingin sedikit menyeruak,
namun api yang menyala ditujukan untuk mengusir keberadaan nyamuk.
*
Seharian sudah kami habiskan hari
dengan banyak aktivitas yang berbeda
dari hari sebelumnya di kedai, kali ini sam Bayu hendak membuat ruangan khusus
mushola, dan Tiok sebagai seorang pengalaman pekerja proyek lekas memberikan
ide dan bercengkerama dengan sam Bayu. Perjalanan kami ke Timur harus ditunda
terlebih dulu, selain karena kami harus memberikan sumbangsih sebagai bentuk
terima kasih kepada kedai dan empunya, ada sebuah undangan untuk melingkar di
kopi becak yang beroperasi di Jalan Ijen setiap malam hari, ajakan itu datang
dari Bima.
Malam hari selepas maghrib, Oki,
seorang mahasiswa yang juga lulusan SMK Grafika dan teman seperjuangan Bima
datang ke kedai dengan membawa tembakau iris dan papirnya. Oki sengaja membawa
untuk menawarkan pada Jak, sebab ia musti membawa bekal sebelum beranjak menuju
Timur. Usai isya’ kami bertiga;Jak, Tiok dan Oki menuju Jalan Ijen untuk
melingkar di kopi becak dan mencicipi kopi yang tersaji. Uniknya, kami harus
membuat kopi sendiri dan bayar sesuai dengan apa yang sudah ditulis pada papan
informasi harga. Malam yang penuh sesak muda-mudi itu diramaikan oleh beberapa
nyanyian, berbekal sebuah gitar dan angin sepoi khas malam hari di pinggir
jalan raya.
Ada seorang kawan yang pertama kali Jak
menjumpainya di Jogja, dan kebetulan dirinya sedang berada di Malang. Keceng,
sapaan akrabnya, adalah pemuda yang juga berada di pedal kendali kopi becak, di
momen yang tak di sengaja itu berjumpalah saya dengan Keceng untuk kedua
kalinya, momentum itu makin khusyu’ saat Keceng tak sengaja untuk kedua kalinya
disambangi kedua orang tuanya yang berniat membawakan makanan dan minuman yang
entah dari mana, sekembalinya Keceng berbincang dengan bapaknya, ia lantas
memberikan wadah besar berisi nasi-nasi bungkus di tengah-tengah lingkaran, dan
terciptalah acara makan malam di pinggir jalan yang tak direncanakan.
Barangkali, ini adalah hikmah di balik penundaan kepergian kami dari Malang.
Pagi di kedai, perbekalan sudah ready. Rencana sudah terpetakan, sam
Bayu mengantar kami bergantian menuju perempatan yang mengarah ke Pasuruan,
tujuan kami selanjutnya adalah rumah sam Bayu, sore harinya sam Bayu akan
menyusul dengan mengendarai motornya menuju Pasuruan dan Mawar lagi-lagi
menjadi penjaga kedai yang setia menemani tumbuhan tumbuh dan nyamuk-nyamuk
liar membabi buta di belakang kedai. Terima kasih Nadi, Lodeh, Mawar dan sam
Bayu, jasamu tak tergantikan oleh apapun, setidak-tidaknya bagi kami yang
merepotkan selama lima hari empat malam.
Jalanan berdebu, kami berdo’a untuk
segera mendapat tumpangan menuju lokasi yang baru.
Komentar
Posting Komentar