Terima kasih Februari.

 Teka-teki yang sudah terjawab.


    Selepas kemarin petang menghabiskan senja yang bergumul awan-awan kelabu bersama kilat yang menyambar-nyambar dari langit yang bersisi. Nyatanya, kita sedang menaruh do'a pada Yang Di Langit.
Sebab, beberapa kematian sudah lebih dari cukup untuk mewartakan gejolak hidup di masa mendatang, bahwa yang bernyawa kelak akan kembali pada-Nya jua.

    Syukur selalu mengalir setiap fajar menyingsing, meski sesekali derap langkah mentari tertutup mendung awan dan turun hujan. Paling tidak, saya sedang berada di sebuah fase yang khusyuk dalam perjalanan mengenal burung-burung dan kehidupannya di alam. Seperti mengingat bagaimana bermulanya saya memilih Diploma III Kesehatan Hewan Universitas Gadjah Mada sebagai pilihan pertama ketika ujian tulis II masuk perguruan tinggi negeri. Sebuah kampus yang cukup megah itu.
    
    Lekat sekali dalam ingatan saya saat ditolak Institut Pertanian Bogor ketika saya mengajukan diri untuk berani memilih jurusan Konservasi Sumber Daya Hutan dan Ekowisata sebagai pilihan satu-satunya saat Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) pada 2015 silam.

Melambung ke masa-masa dimana saya cukup dekat dengan beberapa wilayah di Karanganyar, Jawa Tengah, khususnya sebagian kecil hutan-hutannya. Dari sanalah kemunculan naluri saya untuk lebih dekat dengan kehidupan liar rimba raya yang menyimpan kekayaan hayati. Waktu tak berlalu lama setelah saya mendapat kabar bahwa beberapa kawan saya diterima di kampus Dramaga itu, juga puluhan kawan yang lain beserta pilihan-pilihannya di perguruan tinggi yang diidam-idamkan dan terwujud.

Ada lagi cerita unik selepas saya ditolak mentah-mentah oleh IPB, tentu bukan sebuah penyesalan sebenarnya, sebab saya juga menyadari nilai rapor selama SMA dirasa begitu nekat untuk memilih jurusan yang sedang ramai itu. Ada sebuah saran dari seorang kawan, "Jak, nek arep njupuk jurusan Kehutanan ngopo adoh-adoh nang Bogor?", katanya waktu itu, padahal tujuan saya hijrah dari Jawa Tengah yang sudah menemani lika-liku proses saya belajar selama enam tahun dan memilih Bogor adalah sebab Ibu dan Bapak tinggal di Bekasi dan saya ini single fighter sebagai anak tunggal, mau ndak mau saya berusaha lebih dekat dengan Ibuk dan Bapak. 'Ndilalah' kawan saya yang nyaranin itu ndak cuman tanya, tapi juga menyarankan opsi lain yang lebih memasyarakat dari jarak tempuh dan dunia yang saya kenal. 

"Nang UGM kae lho ono juga jurusan Kehutanan." Lanjutnya, 
Saya yang sedikit mengenal dunia Yogya akhirnya penasaran dengan UGM, lebih tepatnya Kehutanan Universitas Gadjah Mada yang pada tahun itu cuku gandrung, soale RI 1 lulusan sana e lur, lha dalah gayeng tenan iki nek aku isoh kuliah nang kene, batin saya kala ituOke, suwun yo, tak jajale SBMPTN (Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri) ndaftar kono.

Saya juga begitu ingat ketika sedang 'riweh' menyiapkan diri buat ikut SBMPTN itu saya dipaksa Ibu buat gabung sama Neutron, sebuah bimbingan belajar yang tujuannya yo supaya saya lebih mengingat lagi soal-soal yang bakal muncul saat ujian, bonusnya ya lumayan. Saya dapet temen-temen satu Klaten yang sibuk mendaftar ke berbagai perguruan tinggi negeri di Yogyakarta. Pastinya yo saya juga dapat kisi-kisi soal ujian to, entah itu SNMPTN, SBMPTN, Ujian Mandiri, SIMAK UI, UM Undip dan lain-lainnya yang pokoknya banyak. Bukunya tebel, lebih mirip kamus dari pada buku ujian.

Beberapa kali tes, akhirnya saya masuk ke ranah dimana soal-soal yang sering muncul dalam ujian itu seperti buku-buku tebal yang saya kulik hanya saat di lembaga kursus itu. Ya gimana ya, kata Ibuk selama SMP dan SMA saya hampir ndak pernah belajar ketika Ibuk menanyakan kabar saya, paling sering pasti lagi kegiatan apa gitu diluar, yo karena masih di asrama dan seringkali saya juga baru selesai nyuci pakaian kotor atau kumpul bareng temen-temen organisasi ataupun konsulat daerah atau lainnya lah, mestinya kawan-kawan saya di asrama faham sekali dengan aktivitas harian santri.

Wes tak singkat wae yo
Biar ndak lama lur, coba saya kasih gambaran yang terjadi sesudah saya ndak diterima di IPB melalui jalur SNMPTN. Saya masih berkeinginan tinggi untuk masuk ke Fakultas Kehutanan, meski bukan lagi di Kampus Dramaga, sekarang yang saya tuju adalah Kampus Karung Goni (Universitas Gadjah Mungkur, eh salah Gadjah Mada maksudnya).

SBMPTN menolak saya juga, dan menjadikan catatan penolakan kedua untuk saya dalam perjalanan memasuki perguruan tinggi negeri, alih-alih mengusahakan Kehutanan di Kampusnya Pak Jokowi itu, saya sedikit bergeser ke wilayah dan ranah lain, Semarang. Wilayah yang terkenal dengan Mahesa Jenar dan bahasa semarangannya itu menjadi opsi kedua, sebab disana terdapat Universitas Diponegoro dan Universitas Negeri Semarang, keduanya jelas berbeda dengan UGM, bahkan Undip dan Unnes sudah berbeda sejak awal. 

Proses demi proses saya lalui, gagal dua kali menjadikan saya harus memaksimalkan kemampuan yang saya miliki untuk menjebol gawang seleksi masuk perguruan tinggi negeri melalui jalur mandiri, ya jalur mandiri. UGM dengan Ujian Tulisnya, Unnes dan Undip dengan Ujian Mandirinya.

Ujian Tulis UGM tahap pertama masih saya dominasi angan untuk menaruh harap pada Kehutanan di pilihan pertama, sembari menyiapkan tes Ujian Tulis I UGM saya mendaftar Ujian Mandiri Unnes dengan memilih Pendidikan Jasmani, Kesehatan dan Rekreasi di pilihan pertama dan Kesehatan Masyarakat di pilihan kedua, hehe blas ra berhubungan lur karo Kehutanan. Ya begitulah adanya, saya akhirnya menjalani tes UTUL I UGM dengan hasil tidak memuaskan, saya masih belum beruntung. Sembari menyiapkan bekal untuk tes di Unnes dan Undip saya mendaftar Ujian Tulis II UGM yang merupakan jalur terakhir pada tahun 2015 untuk saya bergabung di kampus kerakyatan itu.

**
Sek, jeda sik yo. Aku yo ra mikir kuliah tok kok, soale karo dolan-dolan barang.
Yo namanya lulusan SMA Boarding School, selepas keluar dari asrama yo pastinya ingin mengeksplor lebih jauh dunia luar. Itu yang saya alami, benar-benar menjadi liar aktivitas saya bertemu dengan banyak dunia baru, belum menyentuh dua bulan setelah lulus dari Sekolah Menengah Atas saya sudah berkelindan dikerumunan orang-orang yang meramaikan hajat Dieng Culture Festival di Candi Arjuna, kawasan Dieng Plateau. Pokoknya selepas saya menerbangkan lampion dan berfoto dengan Wira Negara saat acara Jazz diatas awan, malam itu juga ketika dini hari menjelang saya bersama Zhahir dan Fu'ad melanglang buana dengan roda dua menuju Semarang. Pagi harinya saya harus mengikuti tes tertulis Ujian Mandiri Universitas Negeri Semarang. 

Cukup syahdu suasana sore di Dana Kecebong di dekat Kawah Sikunir, suasana yang sejenak memberikan obat dari kegagalan saya ditolak dua kampus ternama. Perjuangan terus berlanjut, sembari mengangkat kedua tangan di atas kepala dengan lampion yang menyala-nyala, malam itu saya lepaskan segala bentuk ketakutan untuk ditolak lagi. 

Jalanan berliku dari Wonosobo hingga Semarang mengharuskan kami untuk fokus mengamati sekitar, hari yang masih gelap dan lalu-lintas yang sangat minim kendaraan itu harus kami siasati supaya saya bisa masuk ke ruang ujian tepat waktu, haha.

Hari yang terik dengan udara yang sedikit berhembus menyapa dengan hangat pada seorang pemuda dengan jalan terburu-buru, ia adalah seorang pemuda yang baru saja tiba di kampus tersebut usai mendatangi dan mengikuti sebagian pagelaran Dieng Culture Festival. Dua kawannya menepi di luar kampus, barangkali mencari sebuah warung untuk menyesap kopi dan merawat tubuh yang lelah dengan bersandar, sementara si pemuda tadi sibuk dengan kursi dan papan di depan tempat duduknya, disana sudah tersaji lembaran kertas soal ujian bertuliskan Ujian Mandiri Universitas Negeri Semarang.

Yah. begitulah lika-liku yang saya jalani saat berada di fase terakhir untuk dapat mengakses bangku perkuliahan secara resmi. Usut punya usut, sebenarnya saya memang memiliki ketertarikan dan minat sekaligus secuil bakat di dunia olahraga. Ceritanya saat saya tes praktek untuk masuk ke jurusan Pendidikan Jasmani Olahraga dan Keguruan ini saya harus bersaing dengan 600 lebih pendaftar yang sebagian besar dari mereka memiliki postur tubuh cukup ideal bagi seorang binaragawan, itu jelas saya lihat ketika tes fisik mengitari lapangan sepak bola sebanyak 4 kali putaran, saat berbaris yang terlihat di kanan dan kiri saya serta depan adalah laki-laki dengan postur tubuh yang tegap dan otot yang kekar. Fiuh, saya sedikit tertampar mengingat postur tubuh saya yang sedang-sedang saja. Alhasil dari serangkaian tes fisik saya dapat melihat sejauh mana saya dapat bersaing dengan para pendaftar yang lain.

Beberapa hari berselang, setelah saya menjalani tes tertulis dan fisik di UNNES. Saya membuka sebuah email dari Universitas Gadjah Mada, saat itu posisi saya sedang di Klaten, tepatnya di kamar dan sedang membuka inbox e-mail yang masuk. Sebelum saya mengikuti tes tertulis maupun fisik di UNNES sebelumnya saya sudah mengikuti Ujian Tulis II di UGM dengan pilihan pertama Diploma III Kesehatan Hewan dan pilihan kedua Diploma III Pengelolaan Hutan. Siang yang cukup cerah itu ternyata membawa kabar gembira untuk saya dan keluarga, girang sekali saya usai membaca sebuah pesan masuk dalam e-mail. (selesai saya tulis pada 02/03/21

Dan disitulah saya;hampir 6 tahun yang lalu. 

Komentar

Postingan Populer