Bertualang kembali, menulis kemudian. #1

KA Bengawan Bekasi-Klaten (23 Agustus 2021)

Setiap kali memandang keluar jendela kereta, aku selalu mengingat bagaimana menyenangkannya kereta yang ku tumpangi saat masih sekolah menengah pertama. 10 tahun yang lalu, saat harganya masih di bawah 50 ribu rupiah, pedagang asongan bersliweran dan pengamen keluar masuk gerbong.

                Namun, semangat untuk menaiki transportasi massal ini nampaknya tak pernah menjauh dariku, akan selalu ada ketenangan yang hadir dan kebahagiaan tersendiri saat bisa bergumul langsung dengan kuda besi tanpa poni.

                Perjalanan ini adalah buah dari waktu-waktu yang senggang dan rindu akan rimba yang begitu rimbun di bukit-bukit pedesaan. Sejak pagi tadi, saat mentari melambat memancarkan suryanya keretaku tiba pukul 07.00 di Stasiun Bekasi, hanya 120 detik waktu kereta untuk singgah dan kemudian keretapun melesat cepat dalam lintasan, melibas tanpa melukai apa-apa yang ada di sekitar, aku duduk di gerbong 7 dengan barang bawaan yang cukup banyak, beruntung pandemi dan PPKM yang masih berlaku memudahkanku untuk mengatur barang. Ceritanya, perjalanan mudik ke Klaten ini sekaligus sarana bagi Ibuk untuk memberikan hadiah bagi adik-adik di kampung halaman, ya, seperti itulah tenaga cinta. Cinta yang senantiasa menggerakkan Ibuk untuk terus berbagi kepada siapapun.

                Rencana kepergian dan kepulanganku ke kampung halaman ini memang bisa dikatakan mepet sekali dan tidak sampai dalam hitungan sepekan, tiket kereta sudah ku pesan dan dua hari sebelum keberangkan tiket sudah ku kantongi, dan sebagai tindakan 'preventif' aku sudah menyiapkan tiket untuk kembali lagi ke Bekasi dengan kereta yang sama, yakni KA Bengawan yang menjadi primadona bagi pelanggan Kereta Api Indonesia dengan rute Pasar Senen – Purwosari. Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat menjadikan persyaratan untuk menaiki transportasi massal ini bertambah, setiap penumpang diharuskan menunjukkan bukti vaksinasi minimal dosis pertama dan surat bukti tes Antigen dengan hasil negatif. Sehari sebelum keberangkatan adalah jadwal vaksinasi dosis kedua bagiku dan usai menjalani vaksinasi ku lakukan tes antigen untuk melengkapi persyaratan menaiki transportasi massal ini.

                Aku merindukan terbangnya burung dengan bebas setelah terlalu sering ku dengar kicau burung dari dalam sangkar dan deretan toko-toko burung yang terdapat di perkotaan, dan perjalanan dengan menaiki kereta adalah jawaban yang tepat dan langsung mempertunjukkan padaku bahwa masih banyak burung-burung yang hidup alami di habitatnya, kereta ini dijadwalkan akan tiba di Stasiun Klaten pada pukul 15.35 WIB dan hanya berhenti di beberapa stasiun seperti Cirebon Prujakan, Prupuk, Kroya, Purwokerto, Gombong, Kebumen, Kutoarjo, Wates, Lempuyangan dan Klaten hingga berakhir di Purwosari. Cukuplah bagiku terobati dengan panorama alam berupa ladang dan persawahan serta pemukiman yang tidak sepadat Jakarta.

                Sayangnya, saat kesenangan hadir bertubi-tubi menyaksikan sawah yang menguning dan ladang yang begitu rimbun ditumbuhi beragam sayur-mayur, selalu saja terdapat titik-titik yang menyedihkan, kumpulan sampah di dekat irigasi persawahan, pinggiran pemukiman yang tersusun tak rapi dan sudut-sudut stasiun yang tak berfungsi. Alih-alih berusaha menjaga suasana hati tetap gembira, rasanya sulit untuk tidak bersedih melihat pencemaran lingkungan yang terjadi. Renungan demi renungan lah yang muncul, dan sesekali masuk ke dalam bagian paling dalam, yakni hati.

                Kereta tiba di Stasiun Prujakan pukul 09.45WIB, hanya berselang 180 detik setelahnya kereta merangsek perlahan, lokomotif berbunyi dan kereta bergerak kembali. Saat kereta berhenti itulah yang menjadikanku kembali mendapatkan suasana yang menyenangkan, seorang perempuan dengan ransel dan tas kecil diselempangnya serta satu tas besar yang ku duga berisi pakaian, perempuan itu lewat tepat di sela-sela tempat duduk penumpang, di tangannya tergenggam tiket kereta dan dengan wajah yang full of make up ia terlihat menarik. Ternyata perempuan 'menor' yang ku perhatikan sedari tadi itu duduk tepat di bangku yang berhadap-hadapan denganku, dan tanpa ragu-ragu langsung ku sapa, “Mba, turun dimana nanti?”, sapa dan tanyaku pada perempuan yang duduk di hadapanku. “Lempuyangan mas, kalau mas nya?”, jawab dan tanyanya padaku, “Saya Klaten, Mba. Mba’ kuliah di Jogja?”, jawabku sembari menelisik agendanya di Jogja, “Engga mas, cuman liburan aja.” Unik rupanya, seorang diri ia berliburan. Menarik untuk diajak berbicara, sembari memandang kembali rupawannya sawah dan ladang ketika kereta masuk ke wilayah Jawa Tengah.

                Petugas kereta didampingi Polsuska hilir mudik dari satu gerbong ke gerbong lain dengan tangan kanan yang menggenggam handphone untuk memastikan kursi yang sudah terisi dan kursi yang belum terisi, seorang laki-laki dengan jaket biru dengan tulisan dipunggungnya “one trip cleaning” menyeret plastik sampah berukuran besar dan bersuara sembari memandangi setiap penumpang, “sampah, sampah” dan tak lupa sepasang laki-laki dan perempuan dengan instalasi berisi makanan dan minuman menawarkan dagangannya pada penumpang. Harga yang berada di atas rata-rata harga pasaran menjadikan pelanggannya pun hanya orang-orang tertentu saja. Bagiku, lebih baik mempersiapkan bekal untuk di makan selama perjalanan daripada harus mengurangi pundi-pundi rupiah yang tersimpan dalam dompet. Uniknya, seorang yang masih sibuk dengan smartphone di depanku memesan paket nasi ayam penyet. Kereta yang ku tumpangi sudah jauh berbeda ketika masa awal aku mengenal moda transportasi ini. Seiring perkembangan teknologi dan taraf pelayanan yang meningkat berjalan lurus bersama polesan modernisasi yang merebak dari gerbang utama stasiun hingga gerbong kereta ekonomi dengan harga tiket di bawah 100.000 rupiah yang ku tumpangi ini.

                Kereta bukan hanya berubah, melainkan sudah milik kalangan yang lihai memainkan gadget dan memahami tata cara bertransaksi secara online untuk pemesanan tiket beserta pengisian persyaratan lainnya. Meski begitu, tidak sedikit masyarakat kelas lansia umumnya yang masih hilir-mudik ke stasiun untuk memesan tiket kereta di loket yang akan dilayani langsung oleh petugas. Keriuhan di stasiun berkurang, tidak seperti ketika pemesanan tiket masih on the spot ditambah lagi nuansa 'pagebluk' yang terus diperpanjang oleh pemerntah berkaitan dengan pembatasan kegiatan masyarakat untuk berkerumun di tempat umum. Stasiun akan riuh beserta jejak orang-orang keluar masuk hanya ketika kereta tiba dan kereta akan berangkat, itu pun bila hanya stasiun pemberhentian adalah tujuan utama dan mayoritas penumpang akan berhenti di staisun tersebut.

                Desing roda dengan jalur rel yang lurus telah menimbulkan gesekan yang begitu khas di telinga, tak jarang suara ini akan didengar saat dini hari oleh masyarakat kota yang jarak rumahnya jauh dari keberadaan lintasan rel kereta api, berpadu dengan suara khas dari lokomotif.  

                Kereta terus melaju, hanya mengambil jeda barang dua hingga tiga menit untuk stasiun yang dialokasikan untuk pemberhentian, selebihnya tetap berlari seperti kuda di padang sabana yang luas tanpa pembatas. Langit yang cerah, udara yang kering menciptakan hawa letih dan lelah bagi sebagain besar penumpang. Aku memilih untuk membuka laptop dan mencoba menuliskan beberapa agenda penting di waktu-waktu lalu untuk ku simpan dalam draft blog milikku, langkah-langkah petugas dan pelayan mendadak hilang, berganti dengan heningnya lantai gerbong bila tanpa adanya gemuruh mesin dan gema dari lokomotif. Perempuan yang duduk tepat di hadapanku mengambil jatah penumpang lain yang telah kosong, ku tahu belakangan bahwa keberangkatan menuju Jawa Tengah dari Pasar Senen memang sedang sepi-sepinya, bahkan di gerbong tempatku duduk, mayoritas penumpang duduk seorang diri dengan seorang lagi di hadapannya, itu berarti hanya ada dua individu di setiap kursi penumpang yang saling berhadap-hadapan. Sungguh, sebuah kelonggaran yang lama tak ku temui di kereta kelas Ekonomi seperti KA Bengawan ini.

                Terik cahaya mentari sempat memudar karena gumpalan awan yang bergerombol bergerak menutupi pendar cahayanya yang mengarah ke bumi, jendela kereta yang tadinya terpapar sinar sang surya, mendadak teduh. Mataku menyapu semua yang tersuguh dari perjalanan ini, memandangi sungai dengan bebatuan yang mendekam tak beraturan di setiap sendi-sendinya, ladang dan rumah warga yang berdampingan.

                Sebuah rasa yang lama sekali tak ku rasakan. Duduk dan memandang keluar jendela dari gerbong kereta kerap membawaku pulang dan pergi kembali dalam satu waktu. Pelengkap pemandangan indah ini ada dua, pertama adalah kesejukan panorama alam pedesaan yang berada di sepanjang kanan dan kiri lintasan kereta, dan playlist music yang ku dengarkan dengan earphone melalui laptop yang tengah ku gunakan untuk menulis. Senandung lagu-lagu Virgiawan Listianto era 90-an.

                Stasiun Kutoarjo telah ku dengar dari pengeras suara, pertanda sebentar lagi akan menggapai Stasiun Tugu, Yogyakarta kemudian disusul Lempuyangan untuk pemberhentian yang akan menjadikan bukti bahwa stasiun ini adalah stasiun vital bagi penumpang yang memiliki keperluan di Yogyakarta khususnya. Selain itu, tentunya sebab daya tarik Yogyakarta dengan ragam rupa wisatanya yang dikenal oleh kalangan nasional maupun internasional.

                Ihwal kepergianku akan segera ku lukis dalam tinta yang diberikan oleh-Nya, dalam kurun waktu tujuh hari mendatang hari-hariku akan segera terisi oleh pepohonan dengan tajuk-tajuknya yang tinggi dan perbukitan yang menawarkan udara dingin dan oksigen yang tersedia berlebih serta kehidupan margasatwanya yang menarik untuk diamati secara langsung dari habitat alaminya.

    Tak hanya itu, sebelum kepergian dan sepulangnya daku dari rimbunnya rimba, tentu aku menyambangi rumah dari keluarga besar Ibu yang berada di Klaten, di sana sudah menunggu adik-adik keponakan dan paman bersama bulik yang senantiasa menunggu kabar kedatanganku. Sementara kereta berhenti di stasiun Lempuyangan, sebagian penumpang turun dan gerbong kereta hanya tersisa sepertiga penghuninya, orang-orang menyeret koper, memanggul ransel dan menenteng tas kain beriringan dan beurutan tak teratur menuju pintu keluar stasiun, kereta ini menyisakan dua stasiun lagi yang harus disambangi dan singgah sejenak untuk menurunkan penumpangnya, tak terkecuali daku yang akan turun di stasiun Klaten, setengah jam dari stasiun Lempuyangan, KA Bengawan ku prediksi tiba di stasiun Klaten.               

               


Komentar

Postingan Populer