Perjalanan Nol Rupiah

Terminal Penggung | Pukul 22.00 WIB

                                                Seorang pemuda dengan tas ransel dibahu dan didepan dadanya membusung seperti orang yang tengah bunting kembar dua anak, di telinganya terpasang earphone dengan lirik, ”dan bagi kami jalanan adalah sekolah, tapi ingat jangan anggap kami sampah.”

                                                Satu jam sudah pemuda bernama lengkap Hanif Nur Hassan Al Faruqi menjejakkan kakinya dan berjalan ke arah utara dan selatan sembari matanya mendelik teliti manyau sesiapa saja yang turun dari mobil pickup atau truk. Ia menunggu seorang kawan, yang siang hari berkunjung ke rumahnya, seorang itu bernama Tio Fauzi. Kebuntuan akan menunggu ia obati dengan terlelap di pelataran sebuah toko waralaba yang meyisakan sebuah bangku tanpa orang yang mendudukinya, tas ransel diletakkannya merebahlah ia pada sebidang kayu memanjang dengan papan persegi panjang sebagai penopang pada rangka belakangnya. Di kedua telinganya masih tersangkut earphone putih yang segera rusak bassnya. “Aku harus tidur, sebelum perjalanan panjang ini dimulai”, batinnya sembari menghembuskan nafas dalam-dalam, ada harap dan cemas yang ia semogakan, yakni kedatangan kawan seperjalanannya.

                                                Angin malam terkam seonggok daging yang tertusuk dinginnya dini hari, sesekali sayup-sayup suara mesin kendaraan membangunkan fikirannya yang beberapa saat sempat rehat. Seoranglaki-laki berdiri dari pembaringannya, dengan kusut ia lucuti pandangannya ke semua sisi, mengharapkan ada seorang laki-laki lainnya yang juga melakukan hal yang sama. Lima menit menyadarkan diri, ia melihat seorang dengan sepatu trekking celana waterproof warna hijau zaitun berdiri tepat dibawah gerbang Terminal Penggung, seorang itu adalah kawan bakal perjalananya, mereka saling berteriak, “Jaaak?!” teriak seorang dari timur jalan, “Yoook?!” sahut seorang yang berdiri tepat dipinggir jalan sisi barat.

                                                Hanif dan Tiok akhirnya bertemu, mereka adalah sepaket perjalanan tak bertujuan, namun satu kepastian yang ada dalam benak mereka berdua adalah mencari tumpangan menuju timur.

Kartasura, 11 Agustus pukul 01.15 WIB

                                                Tiok sudah berdiri ditengah trotoar jalan yang menengahi sisi kanan dan kiri jalan, matanya tak berkedip memandangi arah truk yang bergerak menuju arahnya, sementara Hanif tengah sibuk melihat ‘google maps’ dari layar hpnya, dibagian atas tertulis Malang, Jawa Timur. Ya, mereka sedang berusaha mencari tumpangan menuju Malang, sebuah wilayah yang didalamnya terdapat beberapa kawan dekat Hanif, Malang muncul seketika truk yang mereka tumpangi mengantarkan mereka dari Terminal Penggung menuju Pabelan, Kartasura.

                                                Jalanan yang lengang, angin yang sedikit lebih kencang dari awal malam, maklum ini sudah pagi hari, lebih tepatnya awal hari.

                                                Sesaat ketika Tiok duduk di trotoar pemisah jalan mereka akhirnya kedatangan sebuah truk tronton dengan huruf depan dari plat nomornya adalah “S”, “Wah, Suroboyo iki Yok!”,spontan muncul dari Hanif yang sedang berdiri didekat lampu merah kuning hijau,  “Iyo ki Jak”, sahut Tiok berusaha optimis. Beruntung lampu yang menyala adalah merah, berarti truk akan berhenti. Lalu, “Cak, sampean kate arah nandi?”, tanya Hanif, “Suroboyo aku, Mas”,jawab Pak Supir “Nunut oleh ra, Cak?, tanya hanif kedua kali, “Yo, munggaho Mas!”jawaban yang keluar dari mulut Pak Supir sekaligus perintah untuk naik ke bak belakang.

                                                Tiok dan Hanif pun berada di bak belakang dengan sedikit menjaga keseimbangan, sebab jalan yang akan dilalui ini nanti adalah bukan jalan tol, kemungkinan mereka harus bersiap dengan perut yang akan dikocok habis-habisan sebab jalanan begitu lengang dan jalan tak selalu mulus;kadang berlubang dan tidak rata.

                                                Hanif yang sejak awal menyadari bahwa perjalanan panjang dengan truk tronton yang akan membawanya bersama Tiok menuju Surabaya perlu disiasati menawarkan sesuatu pada Tiok, “Yok, awakmu ndue dan nggowo hammock kan?”, tanya Hanif “Iyo Jak, lha dipasang po?”timpal Tiok, “Iyo ki kudu disiasati nek ra yo kujur dewe”, Balas hanif dan segera menuju ke Tas Carrier Tiok yang berukuran 60+15 liter.

                                                Hammock terpasang, dua pemuda masing-masing tidur bergelantungan ditengah perjalanan menuju Tanah Pahlawan, Surabaya.

                                                Perjalanan panjang dengan naik turunnya tekstur aspal jalan dan sesekali kubangan yang membuat truk harus berjalan pelan menyadarkan Hanif pada pagi hari, ternyata truk sudah membawa mereka hingga tiba di Lamongan. Hanya dalam hitungan jam mereka akan segera tiba di Surabaya.

Tanjung Batu, Surabaya | 10.00 WIB

                                                Waktu berlalu, dan bekal terbaik mendapatkan tumpangan menuju Pandaan adalah dengan berkomunikasi, sudah tiga jam kami berada di sebuah tempat dimana bertumpuk container dan 6000 pertama kami keluarkan untuk dua gelas es dawet, sembari mencari truk yang akan menuju ke Malang kami berbicara tentang bagaimana caranya memaksimalkan peran security. “Mau kemana Mas?”, tanya seorang petugas keamanan, “Mau ke Malang Pak kami dari Klaten numpang-numpang truk, semalam dapat tumpangan truk dari Kartasura dan sampai sini kami turun” dengan gamblang Hanif menjelaskan pada petugas keamanan, “Oh tunggu dulu mas, nanti jam satu truk yang warna hijau itu arah ke Pandaan, dari Pandaan ke Malang sudah dekat Mas”, jelas petugas cukup membantu ketenangan kami.


Komentar

Postingan Populer