Hanya hati sebagai modal utama.

 

Sudah berapa hari ini surya yang tenggelam di ufuk barat tampak kelabu, tertutupi awan yang pekatnya menggumpal kemilau cahaya jingga.

            Ba’da maghrib aku melangkahkan kaki ke tempatku bekerja, melihat jalanan yang mulai gelap tanpa penerangan jalan, aku menyalakan senter dari handphone yang ku miliki. Pandanganku menyapu ke jalan berkerikil ini, serasah dedaunan masih bertebaran, sesekali ku dapati tanah yang belum tuntas kering. Suara jangkrik dan satwa lain yang aktif di malam hari riuh ku dengar. Langkahku tak teratur tapi berjalan ke depan.

            Sampai juga aku di lokasi, tempat ini hanya sebidang rumah kecil untuk hidup dan berkembang merawat aset perusahaan. Tepat di depan bangunan sederhana yang ku sebut rumah itu aku duduk, lekas mengenakan sepatu boot dan bergegas ke kandang, melihat aktivitas operator kandang yang menjadi ujung tombak pemelihara ayam yang menjadi fokus perusahaan dimana aku berkerja. Tapi, baru sepersekian detik kemudian aku mulai melangkah dari tempat ku duduk, mataku dibuat terpesona dalam sekejap pandangan. Cahaya jingga yang tersisa di barat dengan gumulan awak yang pekat dan hari yang tuntas gelap. Ku abadikan sejenak dan ku simpulkan senyum yang tulus untuk keindahan yang tersaji di sana, di dalam tubuhku ada sanubari yang terus menuntunku dalam kebaikan sebagai modal utama mengarungi kehidupan.

 

Ini ku tulis, sembari mendengarkan sebuah tembang jawa yang berjudul Jenang Gula & Lela Ledhung yang dipadu oleh musik intrumen jawa dan klasik barat (Royal Orkestra Yogyakarta).

  

Komentar

Postingan Populer