Kisah Penuh Berkah di Labuan Bajo (Jalanan Adalah Sekolah #2)
Assalamu’alaikum
Labuan Bajo, hampir menuju hari ke empat pada pukul 18:00 WIB hari Selasa, 29
Sepember 2020 semenjak kedatangan kami di tanah pariwisata ini pada hari Sabtu
sore 26 September 2020.
Labuan Bajo cukup hangat, sebab
mentari yang terik dan angin laut yang tetap berhembus. 8 jam kami habiskan di
KM Cakalang dari Pelabuhan Sape menuju Pelabuhan Labuan Bajo. Perjalanan
melintasi kawasan pariwisata ini kami rasakan ketika mentari menukik ke arah
barat, tanda bahwa ia akan tenggelam. Samar-samar hadir seekor burung Elang
dengan kepala putih dan bintik-bintik pada bagian kepalanya, sepertinya ini
memang Elang Flores yang disuruh Tuhan Semesta Alam untuk hadir dan menyambut
kadatangan kami, kapal-kapal tak berlayar, karena corona semua aktivitas
pariwisata mandeg. Kami keluar dari kapal, lekas menuju antrian di pintu keluar
dan menyiasati petugas yang memandang, mereka berapakaian rapi, mengatur pintu
pagar agar semua kendaraan keluar dengan tertib sembari menunjukkan surat jalan
masing-masing beserta surat keterangan sehat.
Singkatnya
kami lolos dari petugas dan pengecekan surat keterangan sehat, menujulah kami
berjalan ke truk yang kami menaruh tas pada bagian atapnya, lalu perjalanan kerumah pak Condo Subagyo dimulai, debu
yang tebal karena galian tanah yang dalam,
proyek besar mengamankan kabel-kabel listrik dan pipa air berterbangan mengisi
udara di jalanan.
Berselang beberapa menit kami
menumpang ke sebuah mobil bak
yang melaju menuju arah tujuan kami, selepas sampai di
titik pemberhentian karena sudah tak searah, maka kami lanjutkan dengan
berjalan, sekitar 10 menit kemudian kami tiba di rumah pak Condo. Samar-samar cahaya lampu rumahnya
terlihat, rumah dengan halaman depan yang dipenuhi tanaman ini sedikit banyak
menggambarkan bahwa pemiliknya pasti menyukai udara segar. Langkah kami sudah
tiba di palataran rumah, di sebuah kursi kayu pak Condo tengah duduk menyandarkan
bahunya pada dinding rumah, Jak mengucap salam disusul oleh Tiok dibelakang.
Halaman rumah pak Condo dan bu Ning |
Salam bersambut dengan keramahan,
dijawab dengan senyum dan dipersilakanlah kami untuk duduk berhadapan dengan beliau. Wajah lelah kami berimbang
dengan wajah lesu pak
Condo, hari yang sudah gelap menambah suasana semakin hening, rumah pak Condo tidak
terganggu oleh keramaian kota yang terjadi di sekitar Dermaga. Disini kami bisa
lebih tenang setelah peluh membanjiri tubuh dan debu menempel di kulit kami
yang sawo matang. Hari itu juga kami berkenalan dengan bu Ning, mas Topan, mbak Hani dan mas Sahid, tak lupa dik Eka. Mereka semua
adalah penghuni rumah pak
Condo dan bu
Ning.
Lepas kami rapikan barang-barang,
tas sudah dibongkar, kami bersih diri dan segera menikmati hidangan mewah yang
disuguhkan tuan rumah, kami akan menumpang
untuk beberapa hari ke depan, semoga memberi banyak manfaat dan pengalaman yang
bisa kami gunakan untuk bekal perjalanan-perjalanan selanjutnya.
Lampu-lampu kapal yang tengah
berdiam di lautan, angin pesisir yang mendesir menerpa ruang terbuka di lantai
dua, tempat kami meletakkan tas dan rehat untuk hari-hari ke depan.
Pak Condo dan bu Ning adalah sepasang
suami istri dari Purwokerto yang hijrah menuju Labuan Bajo, bukan lain adalah
untuk membangun sebuah usaha. Usaha yang kami tahu sudah dibangunnya sejak lama
adalah CNDive, Operator Diving –
(red:menyelam).
Keindahan bawah laut memang menarik
untuk diselami, berbagai destinasi wisata di Labuan Bajo hampir pasti memiliki
paket utama berupa menyelam di titik-titik yang masih terdapat karang terjaga
ekosistemnya. Belum lama, pak
Condo sempat diwawancarai oleh mas
Marzuki Mohamad dan Erik Soekamti dalam acara Super Adventure. Sebuah wawancara
yang menjelaskan kisah seorang penyelam kawakan yang turut serta
mengkampanyekan laut untuk kehidupan bersama yang tak lain adalah seorang
pemilik rumah yang sedang kami tumpangi – pak
Condo.
Hari baik bagi kami, pak Condo menuju ke Wingkol,
sebuah pulau kecil yang digunakan beliau untuk mengembangkan CNDive, disana sudah
terdapat Reza, putra bungsu yang tengah libur sekolah sebab pandemi, Reza
ditemani Tommy – karyawan CNDive yang sudah berbulan-bulan mendiami Wingkol guna menjaga
beberapa perahu dan vila-vila kecil milik CNDive.
Kami berkesempatan ke Wingkol pada lusa,
setelah berbicara dengan mas
Sahid, sebab bila pak
Condo ke Wingkol,
setelahnya pasti bu
Ning juga akan kesana, menengok putra dan bisnisnya yang sedang sepi lantaran
pembatasan sosial berskala besar. Keterbatasan listrik dan bahan pokok di pulau
kecil itu menjadikan pengiriman bahan
makanan dan minuman harus dilakukan berkelanjutan
setiap beberapa pekan sekali.
Sekilas bayangan pantai di barat
memukau pandangan Jak dari sudut lantai dua yang memang terbuka, dihadapannya
menjulang bukit gersang dengan ranting-tanting pohon yang mengering dan celah
bebatuan yang menembus batas hingga dapat memandang hamparan pasir putih dan
birunya air laut. Jak turun ke bawah dan menemui mas Sahid bersama Dik Eka – putrinya.
Putri
periang yang masih di bawah lima tahun itu sedang sibuk dengan handphone milik ayahnya. Dihadapan Jak
seorang ayah sedang sibuk membuat pot tanaman hias dari botol plastik, tangan
kanannya menggengam sebuah tali berwarna merah, ditangan kirinya menggantung
gunting kecil seukuran telapak tangan orang dewasa, waktu luang telah
menjadikan kegiatan bercocok tanam digandrungi mas Sahid. Ia yang sebelumnya menjajakan
sayur-mayur untuk restoran di hotel maupun di kapal mau tak mau harus alih
profesi dan mencari solusi lain dari pekerjaan yang tidak bisa dijalankannya
karena sepinya hotel dan pengunjung yang biasa berhari-hari hidup di kapal.
Kalau cuaca sedang terik banyak
sekali orang yang ke pantai untuk bermain air, seperti halnya mas Sahid, Jak dan Eka
yang akhirnya memutuskan menghabiskan waktu siang bersama di Pantai Pede, 500
meter ke arah barat dari rumah pak
Condo dan bu
Ning. Anak-anak seumuran Eka ternyata juga tengah bermain air bersama Ibu dan
Ayahnya, Jak nampak girang, akhirnya Eka tidak terlalu khidmat bermain hp dan
menemukan alternatif lain supaya ia tak menangis ketika secara terpaksa hp
diambil oleh ayahnya. Mendidik buah hati memang pekerjaan abadi, dunia dan
akhirat akan mendapat tempat. Pantai yang cukup nyaman, pengunjung yang
terlihat tidak begitu ramai sangat cukup untuk menikmati pantai dengan
duduk-duduk dibilah kayu tua yang sudah tergeletak di pasir, Jak mendudukinya.
Kiri-kanan : Teman main dik Eka, mas Sahid, dik Eka. |
Pantai pede dengan panoramanya. |
Dimana ada pariwisata, disana ada
manusia, kedatangan manusia selalu menghadirkan sesuatu yang baru, yang paling
jelas terhampar di pinggiran pasir putih bekas buih ombak yang menepi adalah
kemasan plastik sekali pakai yang mungkin usianya sudah tahunan. Jak berdiri
dan mengambil satu-persatu sampah non organik yang berceceran, dengan kedua
tangannya ia mengumpulkan setumpuk sampah yang diletakkan beberapa meter
menjauh dari bibir pantai, hal yang serupa dilakukan juga oleh mas Sahid. Eka sudah
sibuk dengan teman barunya yang didampingi oleh laki-laki paruh baya – mungkin
kakeknya.
Langit yang putih, mentari yang
terik sudah berada tepat garis lurus di atas kepala, Eka masih sibuk menemukan
mainan baru dengan teman barunya, kali ini ditemani dengan sang ayah. Jak sibuk
menyisir pesisir pantai, diseret kakinya perlahan hingga ke tepian. Jalanan
adalah sekolah batinnya, disana berkumpul banyak warna kendaraan dan rupa sifat
manusia dengan kehidupannya. Anak-anak kecil yang sedang bermain air tanpa kaus
di tubuhnya dipandangi dalam-dalam oleh Jak yang kemudian berjalan mendekat ke
arah anak-anak, samar-samar salah satu dari anak kecil itu bernyanyi,
“...penguasa penguasa berilah hambamu uang.... beri hamba uang” lirik lagu sang
maestro kawakan era 80 hingga kini, Om Virgiawan Listanto. Jak semakin dekat
dan turut bernyanyi, kedua anak itu menatap wajah pemuda yang diam-diam
mendatanginya sambil terkekeh dan saling geleng kepala.
Anak-anak selalu punya daya tarik
tersendiri di pandangan seorang Jak, barangkali Tiok merasakan hal yang sama,
ia sedang terlelap khidmat diselimuti kain hammock
yang ia pasang di ruang terbuka lantai dua.
Waktu Indonesia bagian Tengah sudah
menunjukkan
pukul 12.23, Jak, mas
Sahid dan Eka bergegas mengenakan sandal dan menuju tempat dimana motor parkir,
mereka pulang dengan tubuh yang sepenuhnya basah, terik yang belum mereda
terjangannya turut menyinari tiga manusia yang sedang melintasi jalanan berdebu
dengan kanan dan kiri jalan dipenuhi beton besar cikal bakal proyek baru untuk
memindahkan kabel listrik ke bawah tanah.
Bu
Ning sedang keluar rumah, hanya terdapat mas
Topan dan mbak
Hani. Jak dan mas
Sahid bergantian membersihkan diri, dik
Eka dipandu Ibunya – mbak
Hani untuk bersih diri di kamar mandi lainnya. Lepas sudah pasir-pasir pantai
yang nyangkut ke kantong-kantong
celana, hilang sudah aroma asin air laut, yang tersisa hanya tubuh yang letih
dan perut yang belum terisi.
Sebagai pendatang di Labuan Bajo, bu Ning dan pak Condo cukup dikenal
oleh banyak orang, tentunya didukung oleh adanya CNDive
Jak membangunkan Tiok yang masih
khidmat berlama-lama di pembaringannya, fikir Jak sore nanti akan menyenangkan
bila menikmati semburat jingga bersama-sama, barangkali seekor Elang Flores
tengah melintas, jadi menambah suasana yang harmoni perpaduan antara manusia,
hewan dan tumbuhan. Tapi, tubuh Jak meminta rehat siang itu juga, Tiok yang
berganti menjadi terjaga, kemarin hari Tiok berbincang dengan mas Sahid untuk
memintanya supaya diajak mancing belut di persawahan, sembari bermain volly di
lapangan kecamatan, mas
Sahid akan mengajak Tiok melihat area persawahan yang akan dibuat mancing belut
esok harinya.
Sore datang bersama angin yang
mendayu-dayu, meniriskan sisa-sisa tekanan ringan yang menerpa wajah Jak
dibalik selimut yang menggantungnya di pembaringan. Ia terkesiap dan menyadari
sore sudah berjalan setengah waktu, ia bergegas mensucikan diri dan mendirikan
empat raka’at ibadah wajib shalat Ashar di lantai dua. Selesai sholat, Jak
berdiri mengelilingi sudut-sudut lantai dua dan mendapati sebuah panorama yang
begitu memukau;perpaduan surau dengan jembatan dan laut bersamaan cahaya surya
yang bergerak tenggelam. Kepalanya mencari siasat, mungkin maghrib nanti waktu
yang tepat untuk menyaksikan
panorama indah itu lebih dekat. Yes, batinnya dalam hati sembari membenarkan
letak sarung yang dikenakannya ia duduk kembali ke kain yang menjadi tempat
tidurnya.
Bu
Ning sore itu pulang dan berbincang bersama Jak yang sedang duduk diteras. Bu Ning ini rupanya
jiwanya muda sekali, sangat-sangat mudah membaur dengan anak-anak yang umurnya
jauh dibawahnya, seperti Jak yang sore itu khidmat berbincang dan menghabiskan segelas
kopi hitam lebih lama dari biasanya sebab perbincangan khidmat yang mengarah
pada tawaran menuju pulau Wingkol,
“Besok ikut aja mas, saya sekalian nganter kebutuhan disana, soalnya kemarin
Bapak kesana belum bawa air, makanan dan kebutuhan lainnya”. Woh, ini serius
Bu? Ya boleh kalau begitu saya jadi penasaran dengan Bingkol, soalnya kemarin
mas Sahid cerita banyak
tentang Wingkol”, “Ya makanya
besok ikut aja, kita naik motor laut yang supirnya akrab sama saya”, seperti
tetesan air yang jatuh ke tanah, Jak mendapatkan insight baru selepas obrolan menjelang petang bersama bu Ning, esok seperti
hari yang baik kemarin, semoga selalu ada ilmu yang bisa dipelajari lagi.
Jak berjalan ke lantai dua,
diambilnya sarung dan bergegaslah ia ke masjid, di kepalanya terngiang panorama
nan rupawan;surau, senja dan laut. Masjid tidak begitu ramai, jalanan juga
sepi, hanya suara dzikir yang begitu menguasai gendang telinga. Langit beranjak
gelap dan malam baru akan segera dimulai. Musim kemarau sudah hampir menemui
pergantiannya, penghujan segera menyambut, Oktober yang menjadi awal mula
rintik hujan akan segera tiba.
Pagi
di lantai dua.
Lorong-lorong sunyi yang menjadi
riuh ketika toa masjid mengirimkan gelombang suara sang muadzin, beberapa
laki-laki telah menjejakkan kakinya dengan songkok di kepala. Tiok mengisi
hening lantai dua dengan menyeret kaki berjalan ke tangga dan turun, ia hendak
berwudhu dan lekas membangunkan Jak yang terlampau nyenyak tidurnya. “Jak, tangio! Wes subuh.”¹ Tiok menggoyangkan
kain yang menjadi tempat Jak merebahkan tubuhnya. “Woh, wes subuh to, ra krungu
suoro adzan aku.”², Jak terduduk spontan dan menatap ke panorama persegi
panjang tak bercelah. Mereka berdua akhirnya khusyu’ mendirikan sholat subuh
berjamaa’ah di lantai dua.
(Bayangkan
sejenak)
Angin
pagi hari, keheningan yang tercipta sebab orang-orang masih belum membuka pintu
rumahnya dan aliran sungai kecil. Bukankah itu sebuah harmoni yang begitu
menggugah untuk dilewatkan dengan terbaring lagi?
Jak dan Tiok sepakat untuk
berjalan-jalan di sekitar area pantai dekat rumah pak Condo dan bu Ning, tujuan utamanya
adalah berbincang dengan para nelayan, menurut cerita bu Ning, tetangganya
paling banyak berasal dari Suku Bugis, mereka terbiasa dengan ombak laut
sehingga berani memilih kapal sebagai
transportasi pulang pergi Labuan Bajo ke Sulawesi. Jak pernah
bertemu seorang kawan sekaligus abang yang pernah mengarungi Sulawesi hingga
Australia dengan kapal
sandek – kapal khas orang-orang
Bugis, mirip seperti Pinisi. Tiok yang lebih dulu, jalan mendekat ke seorang
lelaki tua dengan caping di kepalanya, namanya pak Masbuk, beliau sudah menyeka
keringatnya melaut sejak 1993. Sebuah perbincangan dua pemuda dengan seorang
nelayan ulung yang pandai merekam waktu ke waktu dengan pembelajaran melihat
pasang dan tidaknya air laut.
Sangat
mahal ongkos untuk mengudara dari Sulawesi hingga Labuan Bajo, menjadikan para
nelayan yang juga masyarakat Bugis ini terbiasa dengan laut. Tidak di kapal
tidak di rumah, keduanya adalah tempat yang sama-sama menawarkan keindahan
dengan ujiannya sendiri. Jak dan Tiok pulang ke rumah pak Condo, bergegas
sarapan dan lekas meyiapkan bekal yang hendak dibawa menuju Wingkol siang harinya.
Siang di sebuah dermaga, orang-orang
berlalu-lalang. Tangannya tak sepi menggenggam angin, sebab bahan-bahan
kebutuhan pokok sehari-hari
hendak dibawa menuju Wingkol
dan Warloka. Bu Ning, Jak dan Tiok keluar dari mobil sedan yang mengantarnya ke
dermaga, setelah barang-barang diturunkan, sang supir yang tak lain adalah mas Topan melambaikan
tangan ke bu
Ning dan menginjak pedal gas.
Bu Ning masih mencari penjual es batu di
toko waralaba yang berderet diseberang dermaga. Jak lebih dulu menggandeng tas
dan karung berisi beras, dibelakangnya Tiok menggenggam tali pengait tas
kepunyaan bu
Ning, ditangan kirinya berisi jumbo untuk air es. Motor laut – kapal pegangkut
penumpang dan barang bawaan berderet rapi. Jak menuju ke salah satu motor laut
yang ditunjuk oleh bu
Ning, diletakkannya barng-barang bawaan ke dalam, penumpang lain sudah lebih
dulu datang lengkap dengan barang bawaannya.
Sepanjang mata memandang, yang
terbaik hingga menarik fokus pandangan adalah terpaan cahaya matahari yang
begitu terik siang itu mengenai genangan air lautan yang bergerak-gerak
perlahan. Sisanya sangat membosankan, macet jalanan yang disebabkan supir
angkot tak mau menepi dan sembarangan memarkirkan mobilnya, apalagi besi-besi
yang menjulang tinggi, semuanya menutupi keindahan tanah ini, Labuan Bajo.
15 menit berlalu, kapal makin penuh
dengan muatan barang-barang penumpang, kendali kapal berada di belakang, tepat
dimana para laki-laki berkumpul dengan duduk dan menyelonjorkan kaki di
sisi-sisinya.
Saat sudah pasti semua yang hendak
menuju Warloka naik ke kapal, sang kemudi lantas meminta seorang yang tengah
berdiri menghadap ke kapal untuk melepas tali pengait yang membuat kapal dapat
bersandar. Pengait sudah dilepas, tali digulung dan dilemparkan ke kapal, kapal
bergerak ke belakang dan kemudian memutar ke sisi kanan hingga 90 derajat dan
lepas bergerak membelah lautan. Perkiraan waktu yang akan ditempuh selama 60
menit jika sesuai seperti yang dikatakan bu
Ning, kami akan berhenti di dekat Wingkol,
nantinya Reza – putra bu
Ning dan Tommy akan menjemput dengan speedboat
milik CNDive.
Lanskap Wingkol difoto oleh Jak |
Motor laut memiliki suara khas
berupa mesin “tokotok” yang berbunyi
nyaring. Tak dapat dielakkan juga suara bising, terik mentari, dan letih yang
menjalari tubuh paling nikmat digunakan untuk sejenak merebah. Syukur bagi kami
ketika menyadari motor laut bergerak melambat karena sudah akan tiba, poin yang
lebih memuaskan lagi adalah panorama bukit-bukit yang membentang sepanjang mata
memandang ke arah timur, di barat langit masih terik dengan mentari yang hendak
menukik. Hari sudah menunjukkan jalan menuju penghujung siang. Kami berdiri
setelah mendapat aba-aba dari bu
Ning yang sibuk menggenggam handphonenya, satu-satunya akses menghubungi
putranya untuk mengabarkan bahwa motor laut sudah dekat dengan Wingkol adalah dengan
smartphone. Samar-samar, sebuah speedboat dengan olesan putih yang menyelimuti
tubuhnya mendekat ke arah motor laut yang kami tumpangi, seorang pengemudi
berdiri di ruang
kecil tempat kendali, inilah yang disebut-sebut putra bu Ning – Reza.
Jak sedang berbaur dengan air laut,
tangan kanannya ditenggelamkan. Jari-jemari dan pergelangannya merasakan
hangat, Reza yang melihat Jak tertawa kecil, diketahui oleh Jak yang terpukau
sebab panorama elok nan rupawan Wingkol
menjadikan ia bertanya pada Reza, “Za, saya hanif. Itu ya yang namanya Wingkol?” Jak memulai
percakapan seusai memulai pendekatan dengan menggenggam tangan dan
saling-silang telapak tangan saat pertama berjumpa. Tiok masih penasaran dengan
bukit-bukit yang menjulang di sisi timur, tak lama kami tiba, barang-barang
diturunkan kami yang menjadi tamu berjalan lebih dulu dengan barang bawaan
ditangan kanan dan kiri menuju dapur tempat meletakkan bahan-bahan untuk makan
dan minum satu minggu ke depan. Hari sudah sore, langit beranjak menjadi
kelabu, kami masih riuh di
dapur
ditemani pak
Condo dan bu
Ning – pengelola sekaligus pemilik CNDive.
Duh, Wingkol...
Tanah
yang harus Jak datangi lagi untuk memotret burung-burungnya, lebih-lebih
mengulangi pertemuan epiknya dengan surya tenggelam yang memancarkan cahaya
keemasan dan seekor burung air yang asik mengintai mangsanya dibalik
rumput-rumput laut.
Hujan dan anjing yang menggonggong
mengharuskan Jak berlama-lama di dapur bersama bu Ning, pak Condo dan Reza.
Wajah lelah Reza terbayar dengan
kedatangan ibundanya,
pertama disebabkan lauk-pauk yang bakal menjadi menu utama pada malam hari. Tentunya
yang pasti adalah perjumpaan yang dapat dirasa ketika dekat menjadi lebih
hangat, begitulah kasih dan sayang seorang Ibunda. Jak bertanya seputar keadaan
selama pandemi di Bingkol,
pak Condo kemudian
bercerita,
“Begini mas keadaannya, Tommy itu
yang sejak Maret menjaga Wingkol
sendirian awalnya. Karena Reza sedang dipulangkan dari sekolahnya di Solo,
akhirnya dia jadi lebih sering di Bingkol
menemani Tommy ngejagain tempat ini” Reza masih sibuk dengan teko yang
berisikan air panas, tangan kanannya mengambil sendok untuk menakar bubuk kopi
ke dalam gelas yang digenggam dengan tangan kirinya. Dua gelas kopi panas
tersaji, satu dengan gula aren dan satunya tanpa gula untuk pak Condo. Bu Ning
diam-diam menyaksikan gerak-gerik mata Jak yang terlihat ingin menikmati kopi,
tiba-tiba bu
Ning bersuara, “Mas, buat kopi sendiri ya” disusul Reza, “Airnya masih ada kok
mas di teko”. “Oke siap” Jak bergerak membelakangi meja dan menuju meja tempat
meracik kopi. Hujan sudah reda, perbincangan
bergeser menjadi agenda yang akan dilakukan untuk mengisi sore di Wingkol.
Kawasan yang lebih dari cukup untuk
membuat sebuah lapangan bola ini dibangun beberapa rumah dengan bahan utama
dari kayu dan dihuni beberapa kapal layar, speedboat
dan cano(red:perahu kecil yang
bisa dinaiki oleh dua orang berbentuk memanjang dan lonjong pada kedua
ujungnya). “Mas biasa naik perahu kecil kan?”, tanya pak Condo, “Woh, ya ngga biasa tapi bisa pak”. “Yaudah Za, nanti
main perahu aja keliling ke kawasan mangrove, sore kan airnya pas surut”, saran
pak Condo kepada Reza
untuk menemani Jak dan Tiok. “Ya, bisa nanti sama Tommy sekalian.” Jak
manggut-manggut, di luar Tiok masih diajak Tommy berkeliling melihat-lihat
suasana Bingkol. Di bagian barat
terdapat perahu layar yang mangkrak dan digunakan oleh Tommy sebagai basecamp.
Waktu ashar sudah datang, Jak
mendirikan sholat terlebih dulu dan bergegas berganti pakaian untuk siap
basah-basahan.
Dibawah pohon meranti, Jak mendapati
perahu-perahu kecil yang disusun rapi seperti ikan yang sedang dijemur, sembari
memastikan cuaca sudah tidak mendung Jak melepas tali yang mengunci
perahu-perahu kecil itu. Perahu sudah diturunkan dan dayung sudah dalam
genggaman, saatnya memanggul perahu menuju ke tepian. Reza dan Tiok sudah
bersiap di depan,
Jak dan Tommy dibelakang. Sore yang mendadak cerah ini mengawali penjelajahan
kecil menyusuri hutan bakau dengan perahu, air yang tenang memudahkan
pergerakan.
Bukit-bukit yang tampak gelap sebab
mendung menjadi tercerahkan oleh matahari dari arah Barat, bukit-bukit yang
tidak banyak ditumbuhi pepohonan, yang terlihat hanya bebatuan dan tanah yang
kering. Jak menatap jauh ke depan, disana terhampar tajuk-tajuk pohon mangrove
yang menghijau, seorang nelayan tampak sedang mengangkat jaring yang entah
sejak kapan dibentangkannya. Tiok berteriak lantang ke arah Jak,
“Jak, reneo!”³
“Sebentar bang, masih
ngefoto burung ini”, timpal Tommy yang
sedang bersama dengan Jak.
“Tom,
kalau kesini bawa teropong sama kamera bagus pasti seru, bisa ngefoto burung-burung air di
lumpur-lumpur itu”, Jak terkagum-kagum sambil membuka smartphone miliknya.
Tiok, Reza dan Tommy mengarungi lautan. Difoto oleh Jak |
Jak
teringat saat ia sedang berada di Yogya bersama para pengamat burung yang
tergabung dalam Paguyuban Pengamat Burung Jogjakarta, kala itu Oktober tahun
2019, sebuah kegiatan yang diinisiasi oleh Kelompok Pemerhati Burung ‘Bionic’ Universitas Negeri
Yogyakarta. Dalam hal ini, mengamati burung memang memunculkan kesenangan
tersendiri, selain dapat mengenal mengetahui perilaku burung dan
mendokumentasikannya.
Gambar sudah diambil, Jak meletakkan
lagi smartphone miliknya ke tempat
penyimpanan barang yang didesain supaya tidak tembus air. Perlahan ia bersama
Tommy menyusul Reza dan Tiok yang sudah berada di kawasan mangrove. Mangrove
yang tumbuh disisi kanan dan kiri ini memang diperuntukkan untuk memecah ombak
supaya tidak terlalu besar menampar tepian pantai. Kedalaman air di sore hari
sangat berbeda ketika siang, kondisi surut menyebabkan debit air berkurang dan
cukup nyaman digunakan untuk mendayung perahu. Empat pemuda sama-sama mendayung
perahunya, mereka menyusuri air yang surut hingga kemudian tak lagi menemukan
mangrove, disanalah tempat mereka menyaksikan jingga yang menyala dan burung
air yang sedang mengintai mangsanya.
***
Tiga tahun yang lalu Jak sempat
mengunjungi Labuan Bajo, sayangnya tidak sampai 24 jam, ia dan kawan-kawannya
dari Mapagama(Mahasiswa Pencinta Alam Universitas Gadjah Mada) harus menaiki KM
Tilong Kabila untuk menuju pelabuhan Tanjung Benoa di Bali. Kunjungan kedua
kali ini Jak benar-benar melunasi apa-apa yang tidak dilihatnya ketika
kunjungan pertama.
***
Langit perlahan menguning, cahaya
oranye menghiasi awan-awan dan bukit-bukit yang terlihat semakin cerah. Seekor
burung air tertangkap oleh Tommy saat ia mendayung perahunya di depan, Jak
kemudian memintanya untuk berhenti, dikeluarkannya smartphone dari tempat penyimpanan dan diabadikanlah momen langka
itu. Kepala Jak terngiang bait lagu milik Iwan Fals,
Senja dan seekor burung. |
“tinggal jingga tersinya di jiwa, hanya mata, hanya hati.....”
Rona mentari menawarkan nuansa teduh
yang Jak nikmati beberapa saat, didepannya Tiok sudah lebih dulu bergerak cepat
dengan irama dayungannya yang seimbang, Reza turut bergerak di kanannya.
Sementara, Jak masih di belakang, ia ditemani Tommy yang ternyata masih
menyimpan sebatang rokok di perahunya. Semakin lama air akan pasang, tentu
tidak tiba-tiba air pasang, Jak mengambil waktu sejenak lebih lama lagi untuk
menyesap sebatang rokok milik Tommy, di
Barat surya yang bulat benar-benar menyiratkan keindahan garis tangan
Sang Khalik.
Gelap berangsur menguasai hari, Jak
memacu kayuhan dayungnya, air sudah cukup pasang dan lampu-lampu rumah di Bingkol sudah terlihat
menyala, Tommy sudah mendahului di depannya. Reza bersama Tiok berhenti di
dekat speedboat, tujuannya adalah
untuk menyalakan lampu supaya terpantau bila ada pergerakan aneh pada malam
hari. Jarak antara tepian Wingkol
dan speedboat sudah dekat, mereka
bersantai menunggu Jak dan Tommy datang.
Tubuh keempat pemuda tadi lelah,
mereka sudah bergantian meletakkan perahu yang digunakan untuk mengelilingi
kawasan mangorve dengan menyusunnya secara rapi, mengikatnya lagi dengan satu
tali supaya tak jatuh saat angin kencang melanda.
Jak membersihkan dirinya di sebuah
kamar mandi, selepas itu ia mendirikan sholat maghrib di sebuah panggung yang
berbahan utama kayu. Tubuh yang lelah berserapah dalam tengadahnya ke langit Yang Maha Luas.
Jak sendiri bersama gelap dan kain sarung yang dibentangkan sebagai sajadah.
Suasana pantai memang menyenangkan, ditambah temaram rembulan yang menyinari.
Agenda selanjutnya mencicip menu masakan yang dibuat oleh bu Ning di dapur. Jak
bergegas menuju dapur dan berbincang bersama pak Condo dan bu Ning, diluar Reza
menikmati hidangan bersama Tommy dan Tiok.
Waktu melesat begitu cepat, Jak
hanya mengingat bagaimana tempat ini dipenuhi kayu-kayu dan kemudian tempat
menyandarkan perahu-perahu berukuran kecil hingga besar kepunyaan CNDive,
kening Jak mengkerut, dilihatnya dua manusia yang dermawan memberikan Jak
tumpangan. Setelah usai makan malam, Jak lebih dulu pamit untuk menuju basecamp berupa perahu berukuran sedang
yang terdapat beberapa bilik kamar pada lantai atasnya, disanalah biasanya
Tommy rehat jika lelah dan menyimpan berbagai barang-barangnya. Jak menyalakan
lampu yang terhubung dengan sebuah trafo(sumber daya), buah angan kreativitas
Tommy. Malam itu, Jak masih sendiri, Tommy, Reza dan Tiok masih berbincang ria
di tempat mereka makan, sebuah meja kayu yang melingkar dengan pemandangan
utama berupa lautan dan lampu-lampu yang dipasang pada kapal.
Letih di tubuh terbayar saat Jak
menyadari nyamannya kamar sederhana ini, meski hanya seukuran kos-kosan namun
dapat digunakan tidur dua laki-laki dewasa. Diluar angin melambai-lambai,
dedaunan merangsek masuk perlahan dari celah-celah jendela kapal, Jak pelan
tapi pasti sedang menuju ke pembaringannya, demi melawan kesunyian yang cukup
mencekam sebab tak ada orang lain di kapal, akhirnya ia pejamkan matanya
sembari memusatkan fikiran pada segala prasangka baik. Jak tertidur dan
menyadari hari sudah pagi ketika ada seberkas cahaya yang menghangatkan
pergelangan kakinya, ialah sang surya yang terbit dibalik dua bukit.
Pagi yang menyenangkan di Wingkol menuntun kami
pada perbincangan seputar rencana kepulangan yang akan diisi dengan berkunjung
ke Warloka – sebuah wilayah dengan penduduk yang lumayan padat. Disanalah
tempat motor laut yang kami tumpangi pada kemarin hari berhenti, disana pula
tempat kami nantinya bertemu dengan tuan tanah Bingkol, begitulah rencananya. Seusai
menyesap kopi hangat, kami berkemas dan memastikan tak ada barang yang
tertinggal, terutama untuk Jak dan Tiok, hanya Tommy yang tinggal di Bingkol,
sisanya pergi ke Warloka. Jak makin penasaran, begitu juga dengan Tiok.
Keduanya ingin melihat langsung Warloka, sebuah pemukiman kecil yang ramai
setiap harinya karena aktivitas perdagangan di pasar tradisional.
Terjemah:
¹ "Jak, bangun! udah subuh."
² "Woh, sudah subuh yo. Ga kedengeran suara adzan aku."
³ "Jak, sini!"
Komentar
Posting Komentar